Saturday, December 16, 2006

memilih din

Sebagian besar manusia menganut suatu ajaran berdasarkan apa yang mereka dapati dan warisi dari orang tua maupun leluhurnya. Barangkali banyak yang tanpa melakukan verifikasi dan pemahaman dengan intelektualitasnya, mereka bersikap taklid secara membuta menerimanya. Mereka yang tidak menggunakan karunia Tuhan sebagai yang diberikan kepada manusia untuk memahami dan mengikuti petunjukNya bahkan tak lebih baik dari binatang ternak. Termasuk di dalamnya adalah menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh kelompok elit ‘ulama’, ‘ustadz’, pastur ataupun pendeta dan pemuka agama lainnya. Mereka menyangka bahwa tunduk kepada ajaran leluhur dan kata tokoh-tokoh agama adalah jalan satu-satunya menuju surga. Maka saya sangat menghargai mereka yang menggunakan free will yang mereka miliki untuk menemukan kebenaran yang sejati, meraih keimanan yang diyakini dengan akal dan hati, bukan sekedar lips service ataupun demi status dan alasan sosial belaka.

Memilih jalan hidup yang diyakini sesungguhnya merupakan hak yang paling asasi dan esensial bagi seorang hamba terhadap Tuhannya. Kita tidak dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan seseorang lain dalam menentukan jalan hidupnya. Di akhirat nanti, pertanggung-jawaban akan dilakukan secara individu atas kesuksesan kita dalam mengemban tujuan hidup dan misi dari penciptaan dan eksistensi kita di dunia ini. Tiada sedikitpun kita dapat menggantungkan pilihan jalan hidup kita kepada individu lainnya, apakah dia itu ulama ataupun pendeta. Bahkan para ulama, pendeta dan Nabi sekalipun akan mengkhawatirkan nasib diri masing-masing kelak di hadapan sang Penciptanya, Hakim Yang Maha Adil.

Tak seorangpun dapat mengatakan bagaimana hubungan kita yang seharusnya dengan Pencipta. Esensi dari keyakinan adalah bersifat pribadi, antara kita sendiri dan Tuhan. Kita sendiri yang harus menemukannya untuk diri kita. Jadi sudah selayaknyalah kita menghimpun segenap kekuatan pemikiran dan hati kita untuk menemukan jalan hidup yang dapat membawa kita kepada keselamatan kita di dunia ini dan di akhirat nanti.

Umat manusia berasal dari diri yang satu dan memiliki satu Tuhan yang sama, lantas mengapa lalu muncul berbagai agama, aliran dan sekte yang bahkan saling bertentangan dan bermusuhan satu dengan lainnya? Adalah kenyataan bahwa dalam setiap agama sendiri terpecah ke dalam berbagai golongan yang sulit menghitungnya. Dalam agama Islam dikenal beragam aliran dan mazhab: Sunni (Hanafi, Hambali, Maliki, Syafii), Wahhabi, Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jamaah, Ahmadiyyah, Qadiani, Syiah, Baha’I, Ismaili dan berbagai ragam lagi yang mengikuti imam dan panutannya masing-masing. Masing-masing golongan mengaku sebagai penganut Islam dan merasa paling benar. Tapi apa yang dikatakan Tuhan?

“…janganlah kamu termasuk mereka yang musyrik, (yaitu) orang-orang yang memecah belah din mereka dan jadilah mereka beberapa golongan; tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (30:31-32)

Islam bukanlah suatu nama, label ataupun agama dalam arti yang sempit. Islam, yang bermakna berserah diri (tunduk patuh) dan damai, merupakan din (jalan hidup, sistem, hukum) satu-satunya yang diterima oleh Tuhan. Dan manusia tidak diturunkan ke dunia ini tanpa sesuatu yang dapat membawanya kepada kehidupan di jalan ketuhanan. Tuhan yang maha pengasih telah memberikan petunjuk-petunjukNya dengan menurunkan Kitab-Kitab Suci melalui Nabi-nabi. Seluruh Kitab-kitab yang dibawa oleh Nabi-nabi itu memiliki inti dan prinsip ajaran yang sama, jalan hidup yang lurus (monotheist, hanif). Mengikuti petunjuk dalam Kitab-kitab ketuhanan itu akan mencegah kita dari kegelapan dan ketersesatan, serta sebaliknya membawa kita kepada cahaya dan kebahagian. Dari rangkaian Kitab-kitab suci itu, adalah al-Quran sebagai kitab terakhir yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir sebagai salah satu teladan yang terbaik sebagai seorang Muslim (orang yang berserah diri) diperintahkan untuk ‘…mengikuti millat Ibrahim yang monotheist, dia tidak pernah menjadi orang yang musyrik.’ (3:95)

Lalu apakah din yang dianut Ibrahim itu? Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani. Dia adalah termasuk muslimin, nama dari orang-orang yang berserah diri (22:78). Ibrahim dan Muhammad keduanya disebut sebagai teladan terbaik. Mereka tidak menjadikan Islam menjadi suatu sekte atau agama baru dan tidak menamakannya sebagai ‘Ibrahimi’ atau ‘Muhammadi’. Namun sangat disayangkan bahwa setelah meninggalnya nabi Muhammad, berbagai pecahan yang beragam tumbuh menjamur, semuanya mengaku sebagai Islami. Apakah mereka Islami ataukah mereka menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya?

“Mereka berpecah belah menjadi golongan-golongan. Tiap-tiap golongan merasa gembira dengan apa yang ada pada mereka.” (23:53)

Barangkali Islam merupakan din yang paling disalahpahami di dunia saat ini dan di sepanjang sejarah. Tidak hanya oleh mereka yang non-muslim melainkan juga oleh mereka yang ‘muslim’ itu sendiri. Bagaimana mungkin timbul begitu banyak aliran dengan keyakinan dan pengajaran yang berbeda dan saling bertentangan? Tentunya ada sesuatu yang salah, baik karena tidak memahami atau salah memahami Islam. Pesan-pesan Tuhan kepada umat manusia dibawa oleh Nabi melalui dan direkam di dalam satu Quran, tidak ada quran lain lagi. Namun demikian, dengan perjalanan waktu berbagai ajaran baru ditambahkan sedemikian sehingga muncul beragam aliran yang bahkan banyak yang bertentangan dari sumber asli yang satu tersebut, Quran. Hal ini merupakan salah satu misi dan hasil karya syaitan yang memang telah bersumpah untuk menyesatkan manusia. Dan hal inilah yang kelak akan disesali oleh mereka yang ingkar serta dimana dikeluhkan oleh nabi Muhammad di akhirat atas umatnya sendiri:

“…wahai sekiranya aku dahulu mengambil jalan yang ditempuh Rasul. Wahai celakalah aku, alangkah baiknya kalau aku tidak mengambil si polan sebagai sahabat. Sungguh dia telah menyesatkanku dari ajaran (Quran), ketika ajaran itu datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu menyesatkan manusia.’ Dan Rasul berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya KAUMKU TELAH MENINGGALKAN QURAN INI.” (25:27-30)

Jalan yang ditempuh rasul tentu saja Islam, jalan hidup yang universal dan sempurna, jalan hidup yang lurus, hanif (monotheist) yang juga di’kampanye’kan oleh rasul-rasul sebelumnya. Bukan jalan hidup yang menyempal dari ajaran yang Islam yang satu dan murni. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa (Yesus) dan Muhammad semuanya adalah muslim.

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, bukanlah engkau dari golongan mereka itu sedikit juapun, sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah…” (6:159)

Meskipun Tuhan telah menunjukkan din (jalan hidup) yang direstuiNya, bagi manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

“Tidak ada paksaan dalam din (Islam) sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada pegangan yang kokoh yang tidak akan putus…” (2:256)

Tidak ada paksaan dalam din, dan tiap-tiap diri mengusahakan melainkan untuk dirinya sendiri dan tidak seorangpun memikul tanggung-jawab atau dosa orang yang lain (6:164). Bilamana memilih salah satu sekte sebagai jalan hidup dinyatakan sebagai bukan golongan nabi Muhammad, bagaimana pula jika memilih jalan hidup (sering dipersempit sebagai ‘label’ agama) di luar Islam? Jika Yesus dinyatakan sebagai muslim, bagaimana mungkin ada ajaran lain yang diatributkan kepadanya?. Tampaknya sejarah terus berulang, ajaran monotheist yang disampaikan oleh Yesus telah diselewengkan ke dalam berbagai aliran yang dikecam Tuhan, sebagaimana halnya ajaran monotheist yang disampaikan Muhammad pun mengalami hal yang sama. Kecuali apabila kita semua kembali kepada ajaran yang Qurani dan jalan hidup Islami, sulit bagi kita semua untuk menjadi umat yang bersatu dalam damai.

Sesungguhnya telah disinggung di dalam KitabNya, bahwa seseorang yang bersaksi atas keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, belumlah menjamin bahwa ia tidak akan berpaling atau menyeleweng dari ajaran Islam.

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Niscaya mereka berkata, “Allah.” Lalu bagaimana mereka menyimpang?” (29:61)

Jadi menjadi muslim bukanlah sekedar dalam ucapan bibir saja, tetapi harus dengan keyakinan berdasarkan penghayatan hati dan pemikiran. Islam semata-mata sebagai formalitas, label ataupun karena mengikuti leluhur dan orang tua tidaklah memiliki nilai yang sesungguhnya. Bukan label formalitas yang kelak dapat kita tunjukkan kepada Sang Pencipta, tetapi ketundukan hati dan akal kita sepenuhnya secara tulus kepada hokum-hukum ketuhanan. Untuk itulah manusia yang memiliki kebebasan memilih ini dikaruniai hati dan intelektualitas. Lalu terpulang kepada kita untuk menggunakannya guna mencari manfaat dan memenuhi misi keberadaan kita di dunia ataukah justru mengorinya dan menciptakan keburukan di dunia ini. Tuhan telah membekali kita dengan petunjuk menuju kehidupan yang damai dan keselamatan di dunia dan akhirat:

“Kami berfirman, ‘Pergilah dari (keadaan) ini semua. Lalu bila datang petunjukKu kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, niscaya tidak ada ketakutan atas mereka, dan tidaklah mereka berduka.” (2:38)

Namun seiring dengan kebaikan-kebaikan karena mengikuti hukum-hukum Tuhan (termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan dunia secara fisik, seperti hokum-hukum fisika, astronomi, biologi, ataupun hokum-hukum sosial dan ekonomi, dsb) mereka juga ditunjukkan akan konsekuensi karena mengingkarinya:

“Dan orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka…” (2:39)

Maka lalu terpulang kepada kita sepenuhnya untuk bersyukur (menggunakan karuniaNya dengan sebaik-baiknya) ataukah akan mengingkarinya.

“Bukankah Kami memberikan dua mata baginya, serta lidah dan dua bibir, dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan?” (90:8-10)

“Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, ia dapat bersyukur atau kufur.” (76:3)

Dalam menerima hukum-hukumNya, kita hendaknya menggunakan kebebasan memilih yang kita miliki, tanpa adanya paksaan dari manapun juga. Manfaat karena menaati hukum-hukumNya akan terpulang kepada dirinya sendiri dan begitu pula sebaliknya. Adapun orang yang menyampaikan pesan Tuhan, bukanlah ia pelindung atau penjaga bagi mereka.

“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka silahkan ia yang menghendaki beriman, dan silahkan ia yang menghendaki kufur…” (18:29)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan kebenaran, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk, maka itu untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang menyalahinya, maka itu untuk dirinya; dan kamu bukanlah pelindung mereka.” (39:41)

“Sungguh telah datang kepada kamu keterangan dari Tuhanmu, barangsiapa yang memperhatikan maka itu bagi dirinya sendiri, dan barangsiapa yang buta maka itu bagi dirinya sendiri dan aku bukanlah penjaga atas kamu.” (6:104)

Sesungguhnya mudah bagi Tuhan untuk membuat manusia tanpa memiliki kemauan, namun kita telah diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup yang mesti kita pergunakan sebaik-baiknya:

“Dan jika Allah menghendaki niscaya mereka tidak musyrik dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga atas mereka, dan engkau tidaklah dibebani tanggung-jawab atas mereka.” (6:107)

Dengan jalan Tuhan yang lurus yang telah dibedakan, akibat dari tidak menaati jalan hidup yang ditetapkan Tuhan juga telah diberikan:

“Barangsiapa yang menginginkan jalan hidup selain Islam, maka tidaklah itu akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (3:85)

Dalam hal kemurtadan, yaitu keadaan dimana seseorang beriman tetapi lalu ingkar terhadap ayat-ayat Tuhan, maka akibatnya telah jelas disebutkan:

“Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir sesudah mereka beriman, dan mereka telah mengakui bahwa Rasul itu benar dan keterangan yang jelaspun telah datang kepada mereka? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Untuk yang demikian) itu, balasan mereka adalah laknat Allah serta malaikat dan segenap manusia. Kekal di dalamnya, tiada diringankan azab mereka dan tidaklah mereka diberi tangguh.” (3:86-88)

Akan tetapi, pintu taubat tetaplah terbuka:

“Kecuali orang-orang yang taubat sesudah itu dan memperbaikinya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3:89)

Ketika berpaling dari petunjuk Tuhan ataupun kufur, tiada sedikitpun Tuhan dirugikan melainkan sesungguhnya kita merugikan diri kita sendiri:

“… Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak memudaratkan Allah sedikitpun…” (3:144)

“…Jika kamu dan orang-orang di bumi semuanya mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (14:8)

Jadi, adalah terpulang kepada kita sepenuhnya untuk memilih beriman ataupun ingkar. Namun demikian, terlebih dahulu hendaknya kita merenungkan dalam-dalam tentang tujuan keberadaan kita di bumi ini. Kehidupan kita di bumi ini merupakan rahmat dari Tuhan, untuk mencapai misi pengabdian kita kepada Sang Pencipta melalui keberserahdirian yang tulus kepadaNya semata. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang paling hakiki, karena dengan menuhankan Sang Pencipta semata, kita menihilkan ketundukan kepada ilah-ilah yang lain baik itu ego kita sendiri, manusia lainnya, para pemimpin, kekayaan, kekuasaan, dsb. Mengabdikan diri kepadaNya semata adalah dengan sendirinya menciptakan kebaikan kepada diri kita sendiri dan kepada kemanusiaan karena Tuhan adalah sumber kebaikan, cinta, dan keadilan…

Kita memiliki HANYA SATU KALI KESEMPATAN HIDUP DI DUNIA INI. Demi waktu, betapa meruginya mereka yang tidak memilih jalan hidup yang diridhai Tuhan. Sesungguhnya, siapapun dia, selama beriman dengan sebenarnya kepada Tuhan, hari akhir serta berbuat baik maka tiada kekhawatiran baginya dan tidak pula ia bersedih hati. Itulah persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh seorang hamba Tuhan (2:62, 5:69).

Manusia kadangkala bertindak terburu-buru, hanya mempertimbangkan kepentingan pencapaian jangka pendek di dunia ini dan melupakan tujuan jangka panjang, kebahagiaan sejati, di dunia dan akhirat nanti. Ternyatalah kehidupan kita di dunia ini, kelak akan dirasakan sangat pendek dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang akan kita jelang. Percakapan di hari akhir berikut merupakan suatu contoh yang baik:

Allah berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu berada di bumi?” Mereka berkata, “Kami berdiam sehari atau setengah hari maka bertanyalah kepada yang pandai menghitungnya.” Allah berfirman, “Tidaklah kamu berdiam (di dunia) melainkan sebentar, kalau kamu benar-benar mengetahui.” (23:112-114)

Lalu di manakah diri kita dan bagaimana nasib kita pada seratus, seribu, sejuta tahun dari sekarang? Hanya Dia dan mungkin diri kita sendiri yang dapat menjawabnya. Semoga kehidupan dunia yang fana ini tidak melenakan kita dari memenuhi misi dari keberadaan kita yang sebenarnya, menaati dan mengabdi Tuhan semata melalui hukum-hukumNya. Itulah din, jalan hidup atau sistem Islam yang universal dan sempurna bagi seluruh umat manusia.

Tuesday, November 28, 2006

din yang universal, bukan mazhab (agama) yang sektarian

Din sering diterjemahkan sebagai agama, yang sebenarnya tidak sepenuhnya betul. Sulit mencari padanan katanya dalam bahasa Indonesia, namun kita dapat mencoba memahaminya dari beberapa ayat. Dalam 2:131 itu digunakan dalam hal berserah diri atau tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam. Dan dalam 3:19-20 dikaitkan dengan ketundukan pada Kitab dan ayat-ayatNya serta keberserah-dirian kepada Tuhan. Dalam 9:29 dikaitkan dengan ketundukan pada hukum-hukum Tuhan. Dalam 12:76 dikaitkan dengan hukum (raja). Dalam 24:2 kata Dinillah dikaitkan dengan hukum Tuhan. Kata Din pertama kali muncul pada surat pertama 1:4 untuk menujukkan suatu hari di mana hukum atau sistem Tuhan dengan keadilan yang sempurna berlaku secara mutlak terhadap semua makhlukNya. Setiap individu akan mendapatkan balasan berdasarkan hukum ketuhanan yang dinamakan Din. Jadi garis besarnya, Din menunjukkan suatu hukum atau sistem atau jalan hidup. Apa yang kita lakukan terhadap Islam dengan menjadikannya sebagai label agama adalah merupakan pendangkalan dari makna Din yang sebenarnya. Lebih jauh lagi, Din bukanlah mazhab yang merupakan hukum atau sistem yang dibuat oleh manusia. Mazhab membuat umat terpecah-pecah sedangkan Din bersifat universal dan mempersatukan manusia.

Menarik sekali bahwa istilah Din disebutkan di banyak tempat di dalam Quran, sementara Mazhab tak sekalipun disebutkan. Quran merupakan fundamen dari Islam, sedang Din merupakan satu-satunya hal yang terpenting dan tak terpisahkan dari Islam.

Sesungguhnya Din di sisi Allah adalah Islam…

Tuhan menyatakan bahwa satu-satunya Din yang diterima Tuhan adalah Islam (3:19, 85). Beberapa alasan berikut memberikan alasannya: Islam menghendaki bukti-bukti kebenaran yang obyektif (2:111; 21:24), meminta penelaahan secara intelektual sebelum meyakini (17:36), menyatukan bangsa-bangsa dan etnis-etnis yang berbeda (49:13), menjanjikan keadilan kepada setiap orang apapun keyakinan dan etnisnya (5:8), mengajak kepada kedamaian dan realitas (60:8,9), menolak kependetaan (pemimpin agama) dan perantaraan antara Tuhan dan umat manusia (2:48, 9:31-34), mendorong pemerataan kekayaan (59:7), mencegah aktivitas yang spekulatif, merugikan diri sendiri ataupun pihak lain, dan yang tidak produktif (2:275, 5:90, 3:130), dalam masalah umum, menghendaki permufakatan (42:38), menghormati individu dan memuliakan kehidupan (5:32), menghargai kaum wanita (3:195, 4:124, 16:97), meminta kita untuk hidup secara harmonis dengan alam dan lingkungan (30:41).

Dengan dasar Quran pulalah Nabi Muhammad dahulu membangun tata sosial bagi masyarakat di Madinah. Menarik untuk dicermati bahwa kota inipun dinamakan dengan kandungan kata Din di dalamnya, karena memang inilah kota pertama dimana Nabi menegakkan Din sebagai sistem sosial yang didasarkan pada hukum-hukum Quran. Dari wahyu-wahyu yang diterimanya, Nabi melaksanakan pemerintahan dan memberlakukan berbagai peraturan yang diturunkan dari Quran: perdagangan, warisan, perkawinan, perceraian, distribusi kekayaan, dan hukum-hukum yang mengatur tentang pencurian, pembunuhan, perjudian, dsb. Dengan menerapkan standar tatanan kemasyarakatan yang baru, secara spiritual maupun sosial, masyarakat Madinah dibangkitkan menjadi komunitas yang dinamis, kuat dan harmonis. Bahkan dengan kenyataan pada saat itu dimana masyarakatnya memiliki heterogenitas yang tinggi. Inilah jalan hidup atau Din itu. Hukum-hukum yang Qurani ditegakkan secara adil dan konsisten bagi semua orang di sepanjang waktu.

Pada hari ini orang-orang kafir (yang menolak kebenaran) berputus asa terhadap Din kamu, maka janganlah takut kepada mereka, tapi takutlah kepadaKu. Pada hari ini telah aku sempurnakan Dinmu bagimu, dan telah aku lengkapkan nikmatKu kepadamu, dan telah Aku pilihkan Islam sebagai Dinmu. (5:3)

Friday, November 24, 2006

kembali ke Quran

Aku dijadikan hiasan
Aku dipuja dan dikeramatkan
Aku dijadikan hadiah dalam perkawinan

Aku dilagukan dalam perlombaan
Diangkat di atas kepala sebagai saksi dalam sumpah dan perjanjian
Dan sering baru dicari ketika ada perselisihan

Terkadang aku diberikan ciuman
Ada pula yang memberhalakan
Menganggapku sebagai jimat keselamatan

Aku dibaca dari perayaan ke perayaan
Di dalam rak pajangan aku disimpan
Lalu nilai-nilai permanenku tertutup oleh debu kejahilan

*

Kapankah mereka menjadikanku sumber petunjuk dan peringatan?
Kapankah mereka menjunjungku di atas pengada-adaan?
Mengapakah pesan-pesanMu ini dikesampingkan?
Jika itu bukan dari Tuhan, kamu dapati di dalamnya banyak pertentangan

Sementara orang merasa telah mengikuti rasul Tuhan
Tunduk patuh pada tradisi dan ritual-ritual tambahan
Sungguh menyedihkan apa yang rasul keluhkan di hari pembalasan
“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah meninggalkan Quran” (25:30)

Semua telah aku berikan
Terhadapku, membaca dan mengingatnya telah dimudahkan
Adakah yang akan mengambil pelajaran?
Kepada perkataan yang mana lagi mereka mau beriman?

Manusia telah terpecah dalam banyak golongan
Masing-masing berselisih tetapi saling membanggakan
Hanya dengan kembali kepadaku, Quran
Mereka akan bersatu dalam kedamaian dan kejayaan

***

A.L.M.
Kitab ini tiada keraguan padanya
Petunjuk bagi mereka yang bertakwa

Thursday, November 23, 2006

Tuhan

Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

Katakanlah, “Dia adalah Allah yang Esa”
Allah, yang Abadi, Mutlak
Tidak beranak. Dan tidak diperanakkan.
Serta tiada yang menyamaiNya.” (112:1-4)

Kalimat di atas merupakan definisi dari Tuhan, yang dikenal dengan Allah, di dalam Quran. Allah adalah satu-satunya yang mutlak keberadaannya, sedangkan yang lain bersifat sementara atau menurut keadaan. Dia tidak bergantung pada yang lain, tetapi segala sesuatu bergantung kepadaNya.

Membayangkan Tuhan dalam wujud manusia, seperti yang diyakini oleh pemeluk agama-agama tertentu, adalah tidak logis. Tuhan tidak akan pernah mati sementara manusia pasti mati. Apabila Tuhan mewujudkan diri sebagai manusia, maka dia bukanlah tuhan lagi karena sebagai manusia dia tidak lagi memiliki daya untuk menjadi Tuhan kembali. Semua yang ada di bayangan kita sebagai tuhan, maka itu bukanlah Tuhan. Karena, berdasarkan definisi ayat di atas, tiada yang lain yang menyerupaiNya. Jadi, wujud Tuhan tidak akan pernah dapat dibayangkan (6:103), tetapi kita dapat merasakan dan meyakininya dengan memahami dan mempelajari segala ciptaanNya, sebagai tanda-tanda keberadaan dan kekuasaanNya, di alam semesta dan dalam diri kita sendiri.

Tuhan tidak memiliki awal ataupun akhir (57:3), Tuhan tidak membutuhkan makan (6:14), Tuhan tidak memerlukan istirahat ataupun tidur (2:255), Tuhan tidak pernah berlaku tidak adil (4:40), Tuhan tidak pernah berbuat salah ataupun lupa (20:52), Tuhan berkuasa atas segala sesuatu (2:106, 109, 284), Tuhan memiliki nama-nama yang indah (17:110).

Ajaran polytheist yang menyatakan bahwa tuhan itu lebih dari satu sangatlah tidak logis. Tuhan yang satu akan berselisih dengan yang lain, karena masing-masing memiliki kehendaknya sendiri. Menyatakan bahwa tuhan yang satu memiliki tanggung-jawab yang berbeda dengan tuhan (atau tuhan-tuhan) yang lain, sama dengan menganggap tuhan tidak memiliki kompetensi sepenuhnya. Yang jelas, jika Tuhan lebih dari satu, maka tidak mungkin tercipta harmoni yang seimbang di alam semesta ini.

Sekiranya pada mereka (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya mereka akan telah hancur. Maha Suci Allah, Pemelihara yang mutlak kewenangannya dari apa yang mereka menganggapnya. (21:22)

Allah tiada pernah memiliki anak. Dan tiada pernah ada tuhan lain di sisiNya. Jika sekiranya demikian, tiap-tiap tuhan akan telah mendeklarasikan kemerdekaan dengan ciptaan-ciptaannya, dan mereka akan telah saling bersaing dengan lainnya untuk mendominasi. Maha Suci Allah dari apa yang mereka menganggapnya. (23:91)

Karenanya keberadaan dari satu Tuhan, yang Maha Kuasa, merupakan satu-satunya konsep yang logis tentang Tuhan.

Kebesaran Tuhan

Di museum Louvre, orang-orang mengerubungi, mengagumi, dan berebut mengabadikan lukisan Monalisa yang tersimpan di balik kaca anti peluru. Namun tak banyak orang yang memikirkan betapa jauh lebih menakjubkannya penciptaan seorang “Monalisa”. Dari setetes cairan menjadi sesosok individu manusia dalam sebaik-baik bentuk (74:38, 76:2, 95:5). Dan, ternyata, penciptaan manusia yang begitu luar biasa itupun masih “belum apa-apa” dibandingkan penciptaan alam semesta (79:27). Namun demikian, bagi Tuhan, untuk menciptakan alam semesta tersebut cukuplah dengan perkataan “Jadilah” maka jadilah ia. Bagi yang menganggap bahwa alam tercipta dengan sendirinya atau penciptaan manusia terjadi “secara kebetulan” mungkin berpikiran bahwa lukisan Monalisa terbentuk dengan cara memercikkan secelup cat ke permukaan kanvas, atau menumpahkan kumpulan huruf ke lantai dan jatuh menjadi sebuah buku ensiklopedia. Masihkah kita meragukan kekuasaan Tuhan atas manusia ? Mungkin uraian berikut bisa menjadi renungan kita bahwa betapa kekuasaan Tuhan itu tiada terbayangkan oleh manusia. Tiap kali kita mengucapkan Allah Maha Besar, paling tidak dalam shalat. Namun kita tidak mampu membayangkan seperti apakah kemaha-besaran-Nya. Karena Tuhan sama sekali berbeda dengan makhluk dan tak dapat dipersonifikasikan. Dari keagungan ciptaan-Nyalah maka kita akan dapat merenungi, memikirkan dan mengagumi-Nya dengan sepenuh hati. Tanpa keraguan kita akan menyadari bahwa tak ada otoritas lain yang layak disejajarkan dengan-Nya dan firman-Nya.

Kita belajar dari ayat 39:67 bahwa kebesaran Tuhan adalah jauh melampaui pemahaman manusia – ayat tersebut menyatakan bahwa seluruh tujuh langit atau alam semesta “terlipat dalam tangan Tuhan.”

Dan mereka tidak memuliakan Tuhan sebagaimana Dia harus dimuliakan sedangkan keseluruhan bumi dalam genggamanNya pada hari kiamat. Dan seluruh alam semesta dilipat dengan tangan kananNya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.

Kita mempelajari bahwa alam semesta kita merupakan yang terkecil dan terdalam dari tujuh alam semesta (41:12, 55:33, 67:5, & 72:8-12). Sementara itu, kemajuan-kemajuan ilmiah telah menunjukkan bahwa galaksi kita, Bimasakti (Milky Way), terentang dalam 100.000 tahun cahaya, dan bahwa alam semesta kita terdiri dari milyaran galaksi semacam itu dan trilyunan bintang-bintang dan lebih banyak lagi benda-benda langit. Alam semesta kita diperkirakan merentang jarak lebih dari 20.000.000.000 tahun cahaya. Kita dapat menyaksikannya, antara lain dalam Discovery Channel “the infinite quest”, dari bukunya Stephen Hawking ataupun berbagai ensiklopedia.

Taruhlah kita mengambil satu quintillion (1.000.000.000.000.000.000) bintang-bintang dan menghitungnya (dari nol hingga quintillion) satu hitungan per detik, siang dan malam, ini akan memakan waktu 32 milyar tahun (lebih dari umur alam semesta). Itu menunjukkan betapa lamanya untuk hanya “menghitungnya”; namun Tuhan “menciptakannya”. Begitulah kebesaran Tuhan.

Alam semesta yang tak berhingga itu terjadi dari suatu dentuman besar. Inilah teori yang paling meyakinkan dan meninggalkan “Steady state theory” jauh di belakang. Hanya saja para ilmuwan tidak tahu apa yang menyebabkan big bang tersebut. Sesungguhnyalah big bang itu tidak mungkin tanpa Tuhan (21:30). Teori umum relativitas Einstein telah membawa para ilmuwan pada kesimpulan bahwa pada tahap paling awal, alam semesta merupakan padatan yang tak berhingga dengan diameter nol, dari tidak ada! Tuhan telah menciptakannya dari tidak ada seperti yang dikatakan Quran (51:47, 41:12, 55:7, 21:22). “..apabila Dia berkehendak, Dia berkata ‘jadilah’ dan jadilah ia…”.

Kita dapat menghargai keluasan alam semesta kita yang luar biasa bilamana kita membayangkan berkelana dalam suatu perjalanan ruang angkasa. Ketika kita meninggalkan planet Bumi menuju matahari, pada kecepatan cahaya, kita mencapai matahari setelah 93.000.000 mil dan delapan menit. Akan memakan waktu lebih dari 50.000 tahun pada kecepatan cahaya untuk keluar dari galaksi kita. Dari batas luar Milky Way, planet kita Bumi tidaklah kelihatan. Tidak juga teleskop yang paling kuat dapat mendeteksi “Bumi” kita yang mungil.

Kita harus menghabiskan lebih dari 2.000.000 tahun pada kecepatan cahaya untuk mencapai galaksi lain yang terdekat. Paling tidak 10.000.000.000 tahun pada kecepatan cahaya harus dihabiskan untuk mencapai batas luar dari alam semesta kita. Dari batas luar alam semesta kita, bahkan Milky Way laksana sebutir debu dalam sebuah ruang yang besar. Yang lebih membuat kita tertegun adalah bahwa ternyata alam semesta kita merupakan yang terkecil dan terdalam dari tujuh alam semesta.

Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Engkau tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka tetaplah menatapnya! Apakah engkau melihat cacat? (67:3)

Alam semesta kedua mengelilingi alam semesta kita. Alam semesta ketiga lebih besar dari yang kedua, dan seterusnya. Dan secara keseluruhan terdapat tujuh alam semesta raya ciptaan Tuhan. Dapatkah kita bayangkan betapa luasnya alam semesta yang paling luar? Tidak ada angka yang bisa menggambarkannya. Keluasan yang di luar jangkauan pemahaman ini “berada dalam genggaman tangan Tuhan.” Dari batas luar dari alam semesta yang paling luar, dimanakah planet Bumi? Bagaimanakah signifikansinya? Dalam kekerdilan partikel debu bernama Bumi, makhluk-makhluk kecil sebagaimana Maryam, Isa (Yesus), dan Muhammad hidup. Namun, orang-orang menganggap manusia-manusia yang tidak memiliki daya sebagai tuhan-tuhan! Mengapa kita begitu berani mensejajarkan nama Allah dengan nama lain (walaupun itu nama seorang Nabi yang mulia dan kita hormati) di masjid-masjid, mushalla dan dalam peribadahan kita? Mengapa kita masih mengharapkan pertolongan orang lain (makhluk-Nya) sebagai juru selamat kita kelak? Tidak cukupkah Allah sebagai pemberi petunjuk dan penolong? (25:30-31) Banyak orang yang begitu senang mengandalkan seseorang untuk memberikan keselamatan dan pertolongan atas mereka, namun mereka yang berserah diri kepada Tuhan akan mengikuti teladan nabi Muhammad dan mengikuti Quran, dan menaruh kepercayaan penuh kepada Tuhan semata tanpa mencari sekutu atau perantara dengan-Nya.

Kebesaran Tuhan diwakilkan tidak hanya dengan fakta bahwa Ia memegang tujuh alam semesta dalam tangan-Nya, tetapi juga oleh fakta bahwa Ia mengendalikan sepenuhnya setiap atom, bahkan komponen-komponen sub-atomik, dimanapun di alam semesta yang lebih besar (6:59, 10:61, & 34:3).

Tiada urusan apapun dimana engkau ada di dalamnya, tidak pula ketika kamu membaca Quran dan tidak pula sesuatu yang kamu kerjakan, melainkan Kami menjadi saksi atasnya, bahkan ketika kamu mulai merencanakannya. Tidak satu atompun tersembunyi dari Tuhanmu, apakah itu di bumi ataupun di langit; tiada yang lebeh kecil atau lebih besar dari itu melainkan tercatat dalam kitab yang nyata. (10:61)

Kemaha-besaranNya melebihi dari apa yang kita dapat memikirkannya:

Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia, Maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus, Pemberi kedamaian, Maha Setia, Yang Teratas, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pemilik segala keagungan, Maha Suci dari apa yang mereka menyekutukan.
Dialah Allah, Maha Pencipta, Yang Memulai, Yang Merancang. PadaNya nama-nama yang terindah. KepadaNya segala yang ada di langit dan di bumi mengagungkanNya, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (59:22-24)

Dengan kekuasaan Tuhan yang Maha Besar dan pernyataan-Nya bahwa Hukum Allah (Sunnah Allah) tidaklah berubah, masih beranikah kita menempatkan yang lain di sisiNya? Masih beranikah kita mengubah dan merekayasa hukum-hukum-Nya yang terdapat dalam Kitab Suci? Dia menyatakan bahwa Quran itu lengkap, sempurna, terperinci (6:19, 38, 114), akankah kita mengatakan yang sebaliknya?.

Kitab Perjanjian Terakhir, Quran, merupakan Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan diturunkan oleh Yang Maha Kuasa sebagai petunjuk bagi yang bertakwa (2:2). Akankah kita menganggap Yang Maha Kuasa memerukan seseorang lain atau Kitab lain untuk menjelaskan KitabNya?.

Katakanlah, “Sekiranya air laut sebagai tinta untuk menuliskan kata-kata Tuhanku, niscaya laut itu kering sebelum habis ditulis kata-kata Tuhanku, walaupun kami meambahkan sebanyak itu pula.” (18:110)

Allah Maha Besar. Hanya kepada-Nya sematalah kita layak mengabdi dan berserah diri.

Tuhan itu dekat

Manusia memiliki konsepnya sendiri tentang Tuhan. Ada yang mencari Tuhan di tempat-tempat yang jauh dan terpencil atau di tempat-tempat ibadah tertentu: masjid, gereja, sinagog, kelenteng, dsb. Seringkali pula kita berdoa dan mengharapkan rahmatNya dengan secara naluri menengadahkan tangan dan muka kita ke langit. Barangkali pula ada manusia yang tidak terpuaskan untuk mengabdi kepada Tuhan yang gaib, mereka menciptakan tuhan berdasarkan imajinasinya, yang berbeda antara satu dengan yang lain, untuk disembah. Mereka tidak puas hanya dengan menaati hukum-hukumNya.

Keyakinan atas keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan konsep dasar yang melandasi keimanan kita. Melalui tanda-tanda kebesaranNya di alam semesta dan pada diri manusia dan terutama melalui KitabNya, kita telah dituntun untuk meyakininya dalam hati dan pikiran. Konsep ketuhanan dalam Quran telah menunjukkan bahwa sesungguhnya Tuhan yang banyak dicari manusia itu ada bersama kita, ke manapun kita pergi.

…dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan. (57:4)

Dia di luar kemampuan kita untuk membayangkannya, tetapi Dia adalah Dzat yang meliputi seluruh penglihatan dan mengetahui seluruh yang terjadi di alam semesta, termasuk yang ada di dalam hati atau pikiran kita. Dia mencintai mereka yang berbuat baik dan membenci orang-orang yang zalim. Dia lebih suka ditaati dan diikuti lebih dari disembah. Tak ada satu katapun dalam Quran yang dapat diartikan sebagai menyembah. Ahbadullah, Attiullah, Ittibahullah memiliki arti sebagai ketaatan kepada Tuhan daripada menyembahNya. Berdoa adalah untuk memohon kepadaNya dan shalat dilakukan untuk mengingatNya secara konstan serta untuk menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar (dengan senantiasa mengingatNya dan menyadari bahwa Dia itu dekat dan melihat apa-apa yang kita lakukan, baik secara terang-terangan ataupun diam-diam). Tempat bersujud (masjid) bisa ditemukan dimanapun untuk mengekspresikan ketundukan kita kepadaNya.

Tuhan menunjukkan keberadaanNya melalui hukum-hukumNya yang dapat diresapi dan harus ditaati. Hukum-hukum alam atau hukum-hukum yang diwahyukan melalui rasulNya, keduanya harus kita ikuti. Hanya dengan demikianlah kita mewujudakan kecintaan dan rasa takut kita kepada Sang Pencipta yang sesungguhnya tidak jauh dari kita semua. Seberapa dekatkah Dia dari kita?

Dan Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dia bisikkan kepada dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi lehernya. (50:16)

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku merespon seruan (doa) orang yang berseru, manakala dia berseru kepadaku. Karena itu hendaklah mereka merespon (seruan)Ku, beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh petunjuk. (2:186)

Jelas bahwa kita harus menaati hukum-hukumNya yang diperintahkan baik itu hukum-hukum alam maupun yang ada dalam KitabNya. Kita mengetahui bahwa Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak akan ada nabi lagi setelahnya. Kita mengetahui pula bahwa Tuhan tidak pernah berbicara secara langsung kepada manusia, keculai kepada nabi-nabi. Karenanya, satu-satunya jalan untuk mendengar seruan Tuhan (agar dapat meresponNya) adalah melalui Quran, Kitab Suci terakhir yang diturunkan bagi seluruh umat manusia. Dan jawaban kita adalah dengan menaati hukum-hukumNya.

Apabila kita mengikuti konsep ketuhanan yang diberikan dalam Quran, tidak perlu kita mencari Tuhan di tempat-tempat tertentu ataupun melalui perantaraan-perantaraan sesama manusia lainnya, yang masih hidup apalagi yang telah meninggal. Mereka yang mengambil jalan lain atau mengambil perantara sebagai ‘wasila’ selain hukum-hukumNya atau untuk mencari rahmatNya atau agar lebih dekat kepadaNya adalah telah mengambil jalan yang keliru. Kita harus “melihat”Nya di dalam hati dan pikiran kita serta mendekatiNya melalui hukum-hukumNya. Apabila setiap manusia melakukan hal ini, maka bumi ini akan menjadi layaknya surga yang damai. Karena setiap orang seperti halnya orang lain akan menjadi hamba Tuhan yang menaati hukum-hukumNya (termasuk hukum-hukum alam) yang universal. Hukum-hukum Tuhan bersifat mempersatukan dan menciptakan kedamaian dan keselamatan serta mudah diterapkan, sementara hukum-hukum yang diada-adakan manusia seringkali menyulitkan dan membuat perpecahan sehingga menimbulkan kesusahan, pemborosan dan pertikaian.

Tuesday, November 21, 2006

petunjukNya adalah karunia terbesar

Hidayah Allah merupakan karunia yang terbesar yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Petunjuk Tuhan itulah yang senantiasa kita dambakan agar kita berada di jalan yang lurus. Doa itu pula yang senantiasa kita panjatkan di setiap kesempatan, sebagai bagian dari surat pertama yang merupakan “kunci” atau “pembuka”, al Fatihah. Pada bagian awal surat kedua (ayat kedua), Tuhan Yang Maha Pengasih memberitahukan kepada kita apa yang menjadi (sumber) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa itu, yaitu Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Jadi mendalami dan meyakini apa-apa yang tekandung di dalam Kitab itu (Quran) dengan tulus dan hati yang terbuka serta menggunakan karunia akal yang kita miliki merupakan jalan untuk memperoleh petunjukNya. Hanya mereka yang suci (tulus) yang dapat menggapainya (56:79).

Tuhan telah membedakan jalan yang baik dari yang buruk di dalam Kitab yang merupakan “kriteria” (alfurqon) bagi umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Namun demikian tiada paksaan bagi manusia atas dinNya (2:256). Walau mudah bagiNya untuk membuat semua manusia beriman, Dia membiarkan siapapun yang memilih beriman dan siapa yang menghendaki pengingkaran. Manusia sebagai turunan Adam telah memilih untuk menjalani kehidupan ini dengan pilihannya sendiri. Menjadi tanggung-jawab manusia itu sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Masing-masing kelak akan menghadap Tuhannya, pada hari yang penuh keadilan atas semua yang telah kita lakukan. Suatu hari di mana seseorang dalam kepulangan yang abadi, seseorang yang tersenyum bahagia ketika menghadap sang Pencipta ataukah seseorang yang penuh penyesalan tanpa dapat memperbaiki nasibnya. Masing-masing akan ditanya, dan masing-masing akan membawa bebannya dan memikul dosanya sendiri (29:12-13, 6:164, 17:15, 35:18, 39:7, 53:38). Tertulis di iliyyin ataukah sijjin catatan amalnya, berada di surga atau neraka, itulah konsekuensi yang dihadapi setiap orang dalam kepulangan yang abadi nanti. Kesempatan untuk memilih dua keadaan itu dimulai dari saat ini, ketika kita hidup di dunia ini.

Kesempatan hidup di dunia yang hanya sekali ini, alangkah sayangnya apabila kita tiada dapat memenuhi misi dan tujuan keberadaan kita, mengapa kita diciptakan. Hidup ini terlalu berharga untuk tidak diisi dengan berbagai kebaikan dalam keyakinan kebenaran, dan segala yang ada di alam semesta inipun tiadalah yang sia-sia diciptakan bagi kita. Malaikat telah memprotes ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, namun Tuhan Yang Maha Tahu bahwa manusia memiliki sesuatu yang menjadikan keberadaannya di dunia ini memiliki arti. Manusia memiliki kemampuan dalam hal pengetahuan guna menegakkan kebaikan di atas kejahatan. Mengabdi kepada Tuhan merupakan satu-satunya misi kita di dunia, yaitu untuk teguh di jalan Tuhan yang lurus dan penuh kebaikan serta menjunjung hukum-hukumNya. Namun demikian itu tidaklah mudah, karena bahkan orang-orang yang berimanpun mendapatkan ujian (29:2 2:214). Lebih jauh lagi, karena kita memiliki musuh yang nyata, yaitu syaitan yang senantiasa berupaya menjerumuskan kita menyeleweng dari jalan yang lurus dengan berbagai triknya, yang tak jarang tersembunyi di balik hal-hal yang tampaknya indah dan baik. Tuhan telah meniupkan ruh ke dalam diri setiap manusia dan Dia telah pula membekali kita dengan Kitab yang menunjuki, maka terpulang kepada setiap diri untuk berupaya mencapai keberhasilan dalam misinya di dunia. Bahkan seseorang tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang dicintainya, hanya Allah yang menunjuki siapa yang dikehendakiNya (28:56).

Bukan tanggung-jawabmu memberikan petunjuk kepada mereka, namun hanya Allah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki. (2:272)

Beriman, kafir, ataukah munafik. Itulah tiga kategori manusia. Tentu saja kategori pertama merupakan kategori mereka yang mendapat petunjuk dan yang beruntung. Sesungguhnya, Tuhan telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, tapi manusiapun dapat jatuh pada derajad yang rendah (95:4-5). Seorang yang rela mati untuk menegakkan kebenaran dan seorang yang berhati dingin meledakkan bom di keramaian, adalah sama-sama manusia. Itulah potensi diri kita dengan kehendak bebas (free will) yang kita miliki.

Keimanan seseorang dapat bertambah ke tingkat yang lebih tinggi atau menurun di sepanjang perjalanannya. Penting karenanya untuk merawat keimanan kita secara konstan, terutama untuk mencegahnya melenceng kepada kekafiran atau jatuh ke dalam jurang kemunafikan. Tuhan menyebutkan tiga kategori manusia sebagai beriman, kafir dan munafik pada ayat-ayat awal di surat al Baqarah dengan masing-masing kriterianya. Disebutkan pula dalam ayat yang lain, bahwa ada pula yang mengaku atau merasa beriman kepada apa yang telah diturunkan (Kitab Tuhan), tapi sesungguhnya mereka ternyata tersesat karena justru telah berhukum kepada thagut dan terpedaya oleh syaitan (4:60). Untuk menjadi orang yang beriman dengan sesungguhnya, tentunya kita harus menghindari segala hal yang digolongkan sebagai kekafiran. Mengingkari ketika kebenaran itu datang adalah salah satu bentuk kekafiran (46:7). Kebenaran sejati tentu saja datang dari Tuhan, melalui pesan-pesan yang disampaikan melalui rasul-rasulNya. Tidak mengatur dengan apa yang telah diwahyukan Tuhan merupakan kriteria mereka yang digolongkan sebagai kafir (5:44). Sehingga, menjadi kewajiban bagi kita untuk memahami apa-apa yang diwahyukan Tuhan sehingga lalu dapat berhukum dengannya, bukan berhukum dengan kitab-kitab lainnya dan tidak berhukum kepada thagut. Sangat beruntung kita telah diwarisi dengan Quran yang dijamin Tuhan penjagaannya, yang harus kita lakukan kini adalah memahami dan mengamalkannya.

Beriman bukanlah hanya di bibir saja, melainkan dengan hati dan pikiran. Namun demikian, hanya beriman saja tidaklah cukup. Iman hendaklah diwujudkan dalam amal perbuatan. Maka berkali kali kita dapati dalam Quran, dimana keimanan senantiasa dikaitkan dengan amal saleh. Agar berada dalam kondisi yang aman dan mendapat petunjuk, kita hendaknya tidak mencampuradukkan keimanan kita dengan kezaliman. Salah satu kriteria kezaliman adalah ketika kita tidak mengatur atau berhukum dengan apa yang telah diturunkan Tuhan (Quran). Orang yang beriman ternyata masih pula dapat menjadi murtad dan tergelincir dari Din (jalan hidup) yang lurus.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (6:82)

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa murtad di antara kamu dari dinmu, maka Allah akan menggantikan tempatmu dengan orang-orang yang Dia mencintai dan yang mencintaiNya. Mereka bersikap lembut pada orang-orang yang beriman, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, tanpa takut terhadap celaan apapun. (5:54)

Merawat keimanan kita secara kontinyu dan melengkapinya dengan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan zalim merupakan jihad (upaya keras) yang harus dilakukan oleh setiap insan untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Perbuatan baik bukanlah dilakukan untuk (sekedar) mencari pahala, melainkan karena rasa takut dan rasa cinta kepada Tuhan semata. Berbuat baik kita lakukan sebagai bagian dari penghambaan atau pengabdian kita kepada Pencipta, sebagai satu-satunya misi dari kehidupan kita di dunia. Balasan atas apa yang kita lakukan cukuplah kita serahkan kepada Hakim Yang Maha Adil, yang Rahman dan Rahim. Adapaun mengabdi kepada Tuhan semata adalah merupakan supremasi kemerdekaan manusia yang hakiki, karena dengan demikian kita menepis ketundukan kita kepada yang selain Tuhan, apakah itu leluhur, atasan, ulama, pemimpin dunia atau nabi sekalipun. Hanya Tuhan semata yang layak kepada siapa kita mengabdikan diri.

Quran mengajarkan kita untuk menjalani apa yang kita sampaikan kepada orang lain. Menjalani dan menyampaikan isi Quran merupakan tantangan bagi mereka yang benar-benar membacanya. Rasanya, hati kita teraduk-aduk ketika membaca isi KitabNya. Antara kebahagiaan karena menemukan ajaran-ajaranNya yang selama ini tertutup dari mata dan hati kita, hingga menghadapi pertentangan batin karena munculnya berbagai perbedaan dengan apa yang selama ini kita dapatkan dan kita jalani. Tuhan menjanjikan bahwa mereka yang beriman akan memperoleh kejayaan di kehidupan ini dan pula di kehidupan akhirat nanti. Tapi apa yang kita lihat? umat Islam yang berjaya hingga beberapa ratus tahun setelah masa Nabi Muhammad, kini justru terpuruk di berbagai hal. Saya yakin bahwa janji Tuhan tak mungkin salah. Lalu apa yang salah dengan keberimanan umat ini? Benarkah kita telah benar-benar beriman sesuai dengan kriteria Tuhan dalam Quran? Ataukah justru kita bahkan belum benar sebagai umat Muslim? Mana mungkin mayoritas umat Muslim yang mengikuti tradisi dan ritual yang telah berjalan berabad-abad itu telah salah? Mengapa justru umat Islamlah yang banyak dikecam sebagai suka berbuat kekerasan? Setiap umat menganggap baik apa yang dilakukan (6:108), lalu mengapa pula Nabi Muhammad mengeluh tentang umatnya di hari kiamat:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah MENINGGALKAN Quran.” (25:30)

Nabi terakhir kita itu tidak mengeluhkan kita karena meninggalkan (kitab) yang lain, melainkan Quran. Karena itu sangat penting bagi kita untuk merenung dan mengaji, agar tidak termasuk di antara kaum Nabi yang dikeluhkannya itu, apakah kita telah dan akan tidak meninggalkan Quran? Jangan sampai kita terlena karena merasa seakan-akan telah berada di jalan yang lurus. Orang Yahudi merasa bahwa merekalah umat terpilih dan paling benar, sementara lebih dua milyar orang sebagai mayoritas umat manusia saat ini merupakan golongan Nasrani dan barangkali juga merasa paling benar. Sehingga, tak ada yang ditakutkan tentang mayoritas orang tidak sepaham dengan kita, tetapi lebih penting untuk meyakini dan memilih apa yang kita pahami sebagai yang benar walaupun hanya ada sedikit orang seperti kita. Apalagi Tuhan Yang Maha Tahu telah mengatakan bahwa sebagian besar manusia tidak beriman dan bahkan mayoritas orang (meskipun mengaku beriman) bahkan menyekutukan Allah (12:103, 12:106). Menjadi beriman sesuai kriteria Tuhan dalam Quran adalah berbeda dengan menjadi “beriman” karena telah mengikuti ritual dan tradisi keagamaan yang turun temurun, setekun apapun kita mengikutinya.

Tuhan telah menyatakan dalam kitabNya bahwa orang-orang yang beriman akan ditolongNya dan mencapai kejayaan (30:47, 22:40, 22:38, 47:7). Orang-orang Muslim tentu tahu bahwa Tuhan mengendalikan segala sesuatu, Dia memerintahkan tentara yang tampak maupun tidak yang diturunkan untuk membantu orang-orang yang beriman di saat membutuhkan, bahwa kekuatan yang ‘kecil’ dapat mengalahkan yang lebih besar dan kuat dengan kehendak Tuhan (3:124, 2:249), bahwa segala teknologi dan daya apapun di dunia ini tak ada artinya apabila Tuhan berada di pihak lainnya. Kita yakin bahwa Tuhan tidak pernah memungkiri janjiNya (2:80), lalu mengapa dunia muslim hampir selalu terpuruk dalam setiap peperangan dan persaingan? Mengapa dunia Arab yang berlipat kali lebih besar itu tak berdaya melawan Israel? Bagaimana pula nasib Taliban, Palestina, Irak, Pakistan dsb? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika saya membaca Quran dan membandingkan dengan kenyataan yang dialami oleh dunia Muslim. Lantas Islam yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh Quran itu, yang dinyatakan sebagai satu-satunya DIN yang diridhai Tuhan?

Ada dua hal yang barangkali menyebabkan mundurnya dunia muslim di percaturan dunia. Karena perpecahan yang melanda umat muslim di seluruh dunia, serta karena mereka tidak menjunjung kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pemilik hukum yang harus kita junjung. Keduanya muncul dari satu sumber kehancuran, yaitu karena mereka telah meninggalkan Quran. Bagaimana dengan negeri kita ini? Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Dengan pemeluk Islam yang demikian besar dan kekayaan alam yang demikian melimpah, sudah seharusnya negeri ini menjadi yang terkemuka akan kemakmuran dan kedamaiannya di dunia ini. Fakta yang terjadi justru menunjukkan yang sebaliknya. Di surat 7 dalam Quran kita mempelajari akibat dari kaum yang mendustakan ayat-ayatNya, hukum-hukum Quran maupun hukum-hukum alam. Demikianlah sunnah Tuhan berlaku tanpa terkecuali. Bagaimana mungkin negeri dengan berjuta-juta Muslim sebagai mayoritas terpuruk kepada kenistaan dan penderitaan sedemikian? Kita sendiri yang mesti menjawabnya dan hanya kaum itu sendiri yang dapat mengubah nasibnya (sesuai dengan sunnahNya). Apakah mayoritas bangsa ini telah bersyukur, memanfaatkan karunia Allah dengan semestinya? Dari banyak ayat dalam Quran kita dapati bahwa keislaman bertolak belakang dengan kekufuran, sedangkan kita tahu pula bahwa kekufuran berlawanan dengan kesyukuran (14:7). Kriteria yang umum dipakai untuk mengklaim keislaman hanyalah bersifat formalistik dan mekanistik, padahal label formal dan ritual mekanis keagamaan tiada artinya menurut Quran. Islam adalah jalan hidup universal untuk berserah diri kepada Tuhan, melalui hukum-hukum Kitab dan hukum-hukum alamNya. Tunduk patuh setulusnya dalam keyakinan hati dan pengamalan. Muslim karena kelahiran dan warisan tidaklah sama dengan menjadi Muslim karena pilihan serta kesadaran hati dan akal. Mereka tidak taklid kepada para tokoh agama (biasa disebut ‘ulama’ secara salah kaprah) ataupun kitab-kitab buatan manusia, melainkan menjunjung wahyu Tuhan di atas yang lainnya.

Dalam bahasa Quran, ulama merupakan mereka yang mengetahui atau ahli dalam ilmu dan sains dalam bidangnya masing-masing, yang mempelajari fenomena alam dan mereka takut kepada Tuhan. Sedangkan untuk tokoh-tokoh atau pemuka-pemuka agama disebut sebagai ‘ahbaar’ (5:44, 5:63, 9:34, 9:31). Menaati ajaran-ajaran dari para ‘ahbaar’ serta mengesampingkan ajaran-ajaran Tuhan merupakan perbuatan menempatkan tuhan-tuhan yang lain (sebagai sekutu) di sisi Allah.

Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang mensyariatkan (menetapkan) kepada mereka aturan-aturan agama (din) yang Allah tidak mengijinkan? (42:21)

Bahkan negara-negara yang mengklaim sebagai negara Muslim, ‘ulama’nya menetapkan berbagai syariat yang bertentangan dengan hukum Tuhan: hukuman rajam, poligami, berbagai aturan halal dan haram, tradisi dan ritual yang tidak ada relevansinya dengan keislaman, dsb. Apakah Tuhan memperbolehkan kita menaati hukum-hukum selain aturan yang ditetapkanNya? Ataukah seorang nabi memiliki otorisasi membuat hukumnya sendiri di samping hukum Tuhan?

‘Hukm’ itu hanyalah kepunyaan Allah. (12:40)

Dia tiada bersekutu dengan siapapun pada ‘hukm’Nya (hukum-hukum dan aturan) (18:26)

Menaati para ‘habr’ dapat membuat kita terjatuh pada jurang kemusyrikan berdasarkan penjelasan Quran. Memang kita dapat belajar dari sesama manusia dalam mencari kebenaran. Kita diberitahukan untuk mendengarkan semua pandangan dan mengikuti yang terbaik (39:18). Kita diberitahu pula kepada siapa harus bertanya jika kita tidak mengetahui, yaitu kepada ahli dzikr (16:43). Lalu apakah dzikr itu? Tuhan memberitahu kita dalam (21:50) bahwa Quran itulah dzikrum mubaarakun (pengingat yang diberkahi). “Maka akankah kamu mengingkarinya?” demikian Tuhan mempertanyakan kita dalam ayat tsb. Pesan Quran itulah satu-satunya sumber untuk mengamalkan Islam. Sumber-sumber yang lain memiliki banyak pertentangan (4:82). Kata-kata Tuhan tiada dapat disangkal, karena “tiada yang menyangkal ayat-ayat Kami melainkan orang-orang kafir.” (29:48). Orang-orang yang menjunjung satu sumber panutan dan beberapa sumber yang saling berselisih diibaratkan sebagaimana dalam ayat 39:29.

Untuk menjadi seorang Muslim yang sebenarnya adalah dengan memahami ayat-ayatNya untuk dijadikan petunjuk dalam pikiran, sikap, perilaku dan perbuatannya (16:64, 16:102, 27:77, 10:57, 7:2). Sumber petunjuk itu karenanya haruslah: benar (69:51, 25:33, 32:3, 34:6), sempurna (6:38), lengkap (16:115), terperinci (6:114, 7:52), menjelaskan (6:126, 6:154-155, 13:2, 16:89, 25:50), dapat diandalkan (17:9), dan terjaga (41:42, 56:78, 85:22).
Dalam berbagai ayatNya Tuhan menyatakan bahwa petunjuk itu ada di dalam Kitab bukan di luarnya. Namun, banyak orang yang membaca Quran tanpa sedikitpun mengerti atau mencoba memahami artinya, namun merasa bahwa mereka mendapat petunjuk. Mereka mengikuti acara turun temurun membaca Ya-sin (atau surat lain yang difavoritkan tanpa peduli dengan pesan dari surat yang dibacanya) pada waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan pahala atau ‘mengirimkan’ pahalanya pada orang yang telah meninggal. Bagaimana pula mereka akan memperoleh petunjuk? Kitab Tuhan tidak ditujukan hanya bagi Mullah, Imam, Syeikh, ‘Ulama’ tetapi juga untuk seluruh umat manusia… Mereka yang mengatakan bahwa memahami Quran hanya dapat dilakukan dengan tuntunan ‘Ulama’, sejatinya tidak meyakini apa yang dikatakan oleh Yang Menurunkan Kitab itu sendiri bahkan sebanyak empat kali:

Dan sungguh Kami telah mudahkan Quran ini sebagai pengingat (dzikr), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (54:17, 22, 32, 40)

Turunnya Quran dalam bahasa Arab tidak berarti Tuhan lebih mencintai bahasa atau orang Arab dari yang lain, atau bahwa orang Arab lebih berhak mendapatkan petunjuk daripada yang lainnya. Bagi Tuhan, bahasa bukanlah suatu persoalan. Berapa juta orang yang pandai berbahasa Arab tetapi mendurhakai Quran? Abu Lahab merupakan salah satu yang disebut namanya di Quran.

Apakah ini dalam bahasa Arab atau bukan bahasa Arab, katakanlah, “Bagi mereka yang beriman, ini adalah petunjuk dan penyembuh. Sedang bagi mereka yang tidak beriman, mereka akan tuli dan buta terhadapnya; laksana orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh.” (41:44)
Ketulusan dan kesungguhan hati lebih utama dalam memahami Quran. Tuhanlah yang akan menunjukkan caranya dan Dia pula Yang Maha Penyayang yang telah mengajarkan Quran (55:1-2, 75:16-19).

Bahwa sesungguhnya al-Quran ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan membawa kabar gembira untuk orang-orang yang beriman yang mengamalkannya dengan saleh. Sesungguhnya bagi mereka pahala yang besar. (17:9)

Kita tahu bahwa sumber dari ayat-ayat berasal dari ayatullah dan sunatullah, ayat-ayatNya dalam Quran (13:1) dan dalam alam semesta (13:2). Jadi dengan memahami ayat-ayat dalam Quran serta mempelajari fenomena fisik yang membentuk pengetahuan yang lengkap, dengan ijin Tuhan, kita akan menemukan petunjuk dan kebenaranNya.…petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)… (6:71)

padaNya semata kita berserah diri

Sudah seharusnya kita saling mengingatkan agar terhindar dari melakukan ketidak-adilan di mata Sang Pencipta, yaitu menempatkan sekutu di sisi Tuhan dengan kita sadari ataupun tidak. Syaitan, musuh kita semua, telah bersumpah di depan Tuhan bahwa dia akan membuat sebagian besar manusia ingkar kepadaNya dan dia akan menjerumuskan sebagian besar manusia menyekutukan Tuhan.

Ia (Iblis) berkata, “Karena Engkau telah menetapkan aku sesat, aku benar-benar akan mengeblok mereka pada jalan Engkau yang lurus. Lalu aku akan datang pada mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (7:16-17)

Sejak kali pertama nenek moyang kita semua, syaitan telah menjerumuskan Adam dan pasangannya mengabaikan larangan Tuhan sehingga mereka tergusur dari Surga. Dia juga telah menjerumuskan umat Nuh, Saleh, Hud, Ibrahim, Musa dan Isa dengan menolak menuhankan Tuhan semata. Maka bukan hal yang aneh jika syaitan juga bekerja keras menjerumuskan umat Muhammad. Dapatkah kita menghindar dari jebakan syaitan tsb ataukah justru kita akan terantuk pada batu yang sama dan jatuh bahkan tanpa menyadarinya?

Katakan, “Akankah kami beritahukan padamu orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. “Mereka yang sia-sia upayanya dalam kehidupan dunia sedang mereka mengira tengah mengerjakan pekerjaan yang baik!” (18:103-104)

Sungguh ironis bahwa mereka yang menyekutukan Tuhan justru acapkali tidak sadar akan apa yang telah mereka lakukan. Mereka bersumpah bahwa mereka bukan orang-orang yang musyrik.

Pada hari Kami mengumpulkan mereka semuanya, Kami akan bertanya pada orang-orang yang menyekutukan itu, “Di mana lalu sekutu-sekutumu yang dulu kamu anggap?”. Maka, tiadalah yang bisa dijadikan alasan kecuali mengatakan, “Demi Allah Tuhan kami, kami bukanlah orang-orang yang musyrik.” Perhatikan bagaimana mereka berdusta pada dirinya sendiri dan bagaimana tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan itu meninggalkan mereka.” (6:22-24)

Kita harus percaya sepenuhnya apa yang dikatakan Tuhan dalam KitabNya. Menolak ayat-ayatNya memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya, tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Mengingkari ayat-ayatNya akan membawa diri ke neraka! Kitab Tuhan (Quran) adalah cahaya dan petunjuk bagi seluruh manusia agar selamat di kehidupan dunia dan akhirat. Apa yang dikatakan Tuhan tentang KitabNya?

Maka patutkah aku mencari yang selain Allah sebagai hakim, padahal Dia telah menurunkan kepadamu Kitab ini yang terperinci? Mereka yang telah Kami beri Kitab mengetahui bahwa ini diturunkan dari Tuhanmu dengan kebenaran, maka janganlah termasuk mereka yang ragu-ragu.” (6:114)

Dan telah lengkaplah kata Tuhanmu dengan kebenaran dan keadilan, tiada yang mengubah kata-kataNya, yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 6:115

… Tidaklah Kami meluputkan di dalam Kitab ini sedikitpun… (6:38)

Katakan, “Sekiranya air laut sebagai tinta untuk menulis kata-kata Tuhanku, maka laut itu kering sebelum habis ditulis kata-kata Tuhanku, walau Kami tambahkan sebanyak itu lagi.” (18:109)

Apa yang kita peroleh dari ayat-ayat Tuhan di atas? Tiada lain bahwa Quran itu lengkap, terperinci, tak ada sesuatupun yang penting diluputkan, dan Tuhan tidak akan kehabisan kata-kata. Barangkali di antara kita mulai memahami tipu daya yang telah dimainkan oleh Syaitan dan pendukungnya terhadap mayoritas kita. Kita tidak membutuhkan sama sekali sumber-sumber lain selain Kitab Tuhan, apakah itu hadits, sunnah, tradisi, ulama ataupun mazhab-mazhab untuk melengkapi Din Tuhan. Pencipta kita tidak menerima sekutu-sekutu siapapun dan apapun disandingkan denganNya dan Dia tidak menerima kata-kataNya diabaikan.

Inilah ayat-ayat Allah, Kami bacakan padamu dengan kebenaran, maka dengan hadits (narasi) mana lagi, jika tidak pada Allah dan ayat-ayatNya, mereka mau beriman?. Celakalah bagi tiap pendusta yang berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan kepadanya, kemudian dia tetap angkuh seperti seakan-akan tak pernah mendengarnya. Maka umumkanlah padanya hukuman yang pedih. (45:6-8)

Janganlah menjadi angkuh tatkala mendengar kata-kata Tuhan dan jangan berkeras meneruskan jalannya sendiri setelah petunjuk telah dibentangkan di depanmu. Ini adalah syaitan yang menginginkan kamu untuk menolak kata-kata Tuhan dan mengikuti dia dan para pengikutnya.

Dan siapakah yang lebih besar menganiaya dirinya daripada orang yang telah diingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, tetapi dia berpaling darinya dan melupakan apa-apa yang telah diperbuat tangan-tangannya? Kami telah menjadikan atas hati mereka selubung dari memahaminya dan sumbatan pada telinga mereka. Maka bila kamu mengundang mereka pada petunjuk, mereka tidak akan pernah ditunjuki. (18:57)

Siapapun yang mengatakan bahwa Quran itu tidak lengkap bilamana menyangkut petunjuk bagi kita dan mengatakan bahwa kita membutuhkan sumber-sumber lain telah melakukan kejahatan yang Tuhan tak akan memaafkan:

Tuhan tidak akan mengampuni yang menempatkan sekutu-sekutu di sisiNya dan Dia memaafkan yang selain itu untuk siapa yang dikehendakiNya. Dan siapapun yang menyekutukan Tuhan, maka sesungguhnya telah melakukan dosa besar. (4:48)

Bukankah mengejutkan bahwa satu-satunya yang dikeluhkan nabi Muhammad yang kita cintai pada hari akhir adalah:

Dan rasul berkata, “Ya Tuhanku, betapa kaumku telah meninggalkan Quran ini.” (25:30)

Kita telah meninggalkan Quran dengan tidak mempercayai apa yang dikatakannya, dengan tidak mempercayai kata-kata Tuhan dan malah mengambil sumber-sumber lain untuk petunjuk kita. Kita telah menyerahkan diri dan pikiran kita dan mempercayakan pada yang lain untuk menerangkan dan memikirkan dan mendikte kita dan sekaligus bertindak mewakili Tuhan bagi kita…

Syaitan telah merasuki mayoritas manusia melalui kecintaan mereka pada nabi-nabi, khususnya nabi Muhammad dan keinginan yang sangat untuk mengikuti segala perintah dan perkataannya. Adalah fakta bahwa menaati nabi kita adalah menaati Tuhan. Dengan sedikit berpikir kita akan memahami bahwa Quran tidaklah datang langsung dari Tuhan, melainkan melalui bibir nabi Muhammad. Sehingga, mereka yang menaati rasul, telah menaati Tuhan.

Dan manakala disebut Tuhan semata, niscaya bencilah hati orang-orang yang tidak beriman pada hari akhir, dan apabila disebut yang lain di sisiNya, mereka menjadi gembira. (39:45)

Dapatkah kita tegak menyebut Tuhan SEMATA?

Tuhan tidak memaafkan sekutu ditempatkan di sisiNya, tetapi Dia memafkan selain dari itu sesuai kehendakNya. Marilah kita merenungkan dan memikirkan apa yang dikatakan di atas. Marilah kita memikirkan keselamatan diri kita di dunia dan akhirat. Mari kita baca KitabNya selayaknya kita tidak pernah membacanya sebelumnya. Ikhlaskan hati kita, bacalah dengan mata, telinga dan hati pikiran kita. Pikirkan tiap-tiap kata-katanya. Jangan menerima apapun begitu saja dan jangan biarkan seseorang membuatkan keputusan kita. Karena pada suatu saat nanti, kita akan berdiri sendirian dan kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan pilihan kita sendiri.

Semoga Tuhan memberikan rahmatNya dan menunjuki kita di jalan yang lurus.


(maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku itu), yang mereka mendengarkan perkataan-perkataan, lalu mereka mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal. (39:18)

Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?”. Katakan, Allah menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kamu dan kepada orang-orang yang sampai (Quran) kepadanya… (6:19)

Monday, November 20, 2006

begin with the end - final destination

Ada dua tujuan akhir bagi kepulangan kita yang abadi…
Surga atau neraka,
bergantung pada bagaimana kita memenuhi tujuan penciptaan ini di dunia ini saat ini
untuk mengabdi kepada Sang Pencipta semata...