Saturday, December 16, 2006

memilih din

Sebagian besar manusia menganut suatu ajaran berdasarkan apa yang mereka dapati dan warisi dari orang tua maupun leluhurnya. Barangkali banyak yang tanpa melakukan verifikasi dan pemahaman dengan intelektualitasnya, mereka bersikap taklid secara membuta menerimanya. Mereka yang tidak menggunakan karunia Tuhan sebagai yang diberikan kepada manusia untuk memahami dan mengikuti petunjukNya bahkan tak lebih baik dari binatang ternak. Termasuk di dalamnya adalah menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh kelompok elit ‘ulama’, ‘ustadz’, pastur ataupun pendeta dan pemuka agama lainnya. Mereka menyangka bahwa tunduk kepada ajaran leluhur dan kata tokoh-tokoh agama adalah jalan satu-satunya menuju surga. Maka saya sangat menghargai mereka yang menggunakan free will yang mereka miliki untuk menemukan kebenaran yang sejati, meraih keimanan yang diyakini dengan akal dan hati, bukan sekedar lips service ataupun demi status dan alasan sosial belaka.

Memilih jalan hidup yang diyakini sesungguhnya merupakan hak yang paling asasi dan esensial bagi seorang hamba terhadap Tuhannya. Kita tidak dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan seseorang lain dalam menentukan jalan hidupnya. Di akhirat nanti, pertanggung-jawaban akan dilakukan secara individu atas kesuksesan kita dalam mengemban tujuan hidup dan misi dari penciptaan dan eksistensi kita di dunia ini. Tiada sedikitpun kita dapat menggantungkan pilihan jalan hidup kita kepada individu lainnya, apakah dia itu ulama ataupun pendeta. Bahkan para ulama, pendeta dan Nabi sekalipun akan mengkhawatirkan nasib diri masing-masing kelak di hadapan sang Penciptanya, Hakim Yang Maha Adil.

Tak seorangpun dapat mengatakan bagaimana hubungan kita yang seharusnya dengan Pencipta. Esensi dari keyakinan adalah bersifat pribadi, antara kita sendiri dan Tuhan. Kita sendiri yang harus menemukannya untuk diri kita. Jadi sudah selayaknyalah kita menghimpun segenap kekuatan pemikiran dan hati kita untuk menemukan jalan hidup yang dapat membawa kita kepada keselamatan kita di dunia ini dan di akhirat nanti.

Umat manusia berasal dari diri yang satu dan memiliki satu Tuhan yang sama, lantas mengapa lalu muncul berbagai agama, aliran dan sekte yang bahkan saling bertentangan dan bermusuhan satu dengan lainnya? Adalah kenyataan bahwa dalam setiap agama sendiri terpecah ke dalam berbagai golongan yang sulit menghitungnya. Dalam agama Islam dikenal beragam aliran dan mazhab: Sunni (Hanafi, Hambali, Maliki, Syafii), Wahhabi, Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jamaah, Ahmadiyyah, Qadiani, Syiah, Baha’I, Ismaili dan berbagai ragam lagi yang mengikuti imam dan panutannya masing-masing. Masing-masing golongan mengaku sebagai penganut Islam dan merasa paling benar. Tapi apa yang dikatakan Tuhan?

“…janganlah kamu termasuk mereka yang musyrik, (yaitu) orang-orang yang memecah belah din mereka dan jadilah mereka beberapa golongan; tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (30:31-32)

Islam bukanlah suatu nama, label ataupun agama dalam arti yang sempit. Islam, yang bermakna berserah diri (tunduk patuh) dan damai, merupakan din (jalan hidup, sistem, hukum) satu-satunya yang diterima oleh Tuhan. Dan manusia tidak diturunkan ke dunia ini tanpa sesuatu yang dapat membawanya kepada kehidupan di jalan ketuhanan. Tuhan yang maha pengasih telah memberikan petunjuk-petunjukNya dengan menurunkan Kitab-Kitab Suci melalui Nabi-nabi. Seluruh Kitab-kitab yang dibawa oleh Nabi-nabi itu memiliki inti dan prinsip ajaran yang sama, jalan hidup yang lurus (monotheist, hanif). Mengikuti petunjuk dalam Kitab-kitab ketuhanan itu akan mencegah kita dari kegelapan dan ketersesatan, serta sebaliknya membawa kita kepada cahaya dan kebahagian. Dari rangkaian Kitab-kitab suci itu, adalah al-Quran sebagai kitab terakhir yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir sebagai salah satu teladan yang terbaik sebagai seorang Muslim (orang yang berserah diri) diperintahkan untuk ‘…mengikuti millat Ibrahim yang monotheist, dia tidak pernah menjadi orang yang musyrik.’ (3:95)

Lalu apakah din yang dianut Ibrahim itu? Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani. Dia adalah termasuk muslimin, nama dari orang-orang yang berserah diri (22:78). Ibrahim dan Muhammad keduanya disebut sebagai teladan terbaik. Mereka tidak menjadikan Islam menjadi suatu sekte atau agama baru dan tidak menamakannya sebagai ‘Ibrahimi’ atau ‘Muhammadi’. Namun sangat disayangkan bahwa setelah meninggalnya nabi Muhammad, berbagai pecahan yang beragam tumbuh menjamur, semuanya mengaku sebagai Islami. Apakah mereka Islami ataukah mereka menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya?

“Mereka berpecah belah menjadi golongan-golongan. Tiap-tiap golongan merasa gembira dengan apa yang ada pada mereka.” (23:53)

Barangkali Islam merupakan din yang paling disalahpahami di dunia saat ini dan di sepanjang sejarah. Tidak hanya oleh mereka yang non-muslim melainkan juga oleh mereka yang ‘muslim’ itu sendiri. Bagaimana mungkin timbul begitu banyak aliran dengan keyakinan dan pengajaran yang berbeda dan saling bertentangan? Tentunya ada sesuatu yang salah, baik karena tidak memahami atau salah memahami Islam. Pesan-pesan Tuhan kepada umat manusia dibawa oleh Nabi melalui dan direkam di dalam satu Quran, tidak ada quran lain lagi. Namun demikian, dengan perjalanan waktu berbagai ajaran baru ditambahkan sedemikian sehingga muncul beragam aliran yang bahkan banyak yang bertentangan dari sumber asli yang satu tersebut, Quran. Hal ini merupakan salah satu misi dan hasil karya syaitan yang memang telah bersumpah untuk menyesatkan manusia. Dan hal inilah yang kelak akan disesali oleh mereka yang ingkar serta dimana dikeluhkan oleh nabi Muhammad di akhirat atas umatnya sendiri:

“…wahai sekiranya aku dahulu mengambil jalan yang ditempuh Rasul. Wahai celakalah aku, alangkah baiknya kalau aku tidak mengambil si polan sebagai sahabat. Sungguh dia telah menyesatkanku dari ajaran (Quran), ketika ajaran itu datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu menyesatkan manusia.’ Dan Rasul berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya KAUMKU TELAH MENINGGALKAN QURAN INI.” (25:27-30)

Jalan yang ditempuh rasul tentu saja Islam, jalan hidup yang universal dan sempurna, jalan hidup yang lurus, hanif (monotheist) yang juga di’kampanye’kan oleh rasul-rasul sebelumnya. Bukan jalan hidup yang menyempal dari ajaran yang Islam yang satu dan murni. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa (Yesus) dan Muhammad semuanya adalah muslim.

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, bukanlah engkau dari golongan mereka itu sedikit juapun, sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah…” (6:159)

Meskipun Tuhan telah menunjukkan din (jalan hidup) yang direstuiNya, bagi manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

“Tidak ada paksaan dalam din (Islam) sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada pegangan yang kokoh yang tidak akan putus…” (2:256)

Tidak ada paksaan dalam din, dan tiap-tiap diri mengusahakan melainkan untuk dirinya sendiri dan tidak seorangpun memikul tanggung-jawab atau dosa orang yang lain (6:164). Bilamana memilih salah satu sekte sebagai jalan hidup dinyatakan sebagai bukan golongan nabi Muhammad, bagaimana pula jika memilih jalan hidup (sering dipersempit sebagai ‘label’ agama) di luar Islam? Jika Yesus dinyatakan sebagai muslim, bagaimana mungkin ada ajaran lain yang diatributkan kepadanya?. Tampaknya sejarah terus berulang, ajaran monotheist yang disampaikan oleh Yesus telah diselewengkan ke dalam berbagai aliran yang dikecam Tuhan, sebagaimana halnya ajaran monotheist yang disampaikan Muhammad pun mengalami hal yang sama. Kecuali apabila kita semua kembali kepada ajaran yang Qurani dan jalan hidup Islami, sulit bagi kita semua untuk menjadi umat yang bersatu dalam damai.

Sesungguhnya telah disinggung di dalam KitabNya, bahwa seseorang yang bersaksi atas keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, belumlah menjamin bahwa ia tidak akan berpaling atau menyeleweng dari ajaran Islam.

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Niscaya mereka berkata, “Allah.” Lalu bagaimana mereka menyimpang?” (29:61)

Jadi menjadi muslim bukanlah sekedar dalam ucapan bibir saja, tetapi harus dengan keyakinan berdasarkan penghayatan hati dan pemikiran. Islam semata-mata sebagai formalitas, label ataupun karena mengikuti leluhur dan orang tua tidaklah memiliki nilai yang sesungguhnya. Bukan label formalitas yang kelak dapat kita tunjukkan kepada Sang Pencipta, tetapi ketundukan hati dan akal kita sepenuhnya secara tulus kepada hokum-hukum ketuhanan. Untuk itulah manusia yang memiliki kebebasan memilih ini dikaruniai hati dan intelektualitas. Lalu terpulang kepada kita untuk menggunakannya guna mencari manfaat dan memenuhi misi keberadaan kita di dunia ataukah justru mengorinya dan menciptakan keburukan di dunia ini. Tuhan telah membekali kita dengan petunjuk menuju kehidupan yang damai dan keselamatan di dunia dan akhirat:

“Kami berfirman, ‘Pergilah dari (keadaan) ini semua. Lalu bila datang petunjukKu kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, niscaya tidak ada ketakutan atas mereka, dan tidaklah mereka berduka.” (2:38)

Namun seiring dengan kebaikan-kebaikan karena mengikuti hukum-hukum Tuhan (termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan dunia secara fisik, seperti hokum-hukum fisika, astronomi, biologi, ataupun hokum-hukum sosial dan ekonomi, dsb) mereka juga ditunjukkan akan konsekuensi karena mengingkarinya:

“Dan orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka…” (2:39)

Maka lalu terpulang kepada kita sepenuhnya untuk bersyukur (menggunakan karuniaNya dengan sebaik-baiknya) ataukah akan mengingkarinya.

“Bukankah Kami memberikan dua mata baginya, serta lidah dan dua bibir, dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan?” (90:8-10)

“Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, ia dapat bersyukur atau kufur.” (76:3)

Dalam menerima hukum-hukumNya, kita hendaknya menggunakan kebebasan memilih yang kita miliki, tanpa adanya paksaan dari manapun juga. Manfaat karena menaati hukum-hukumNya akan terpulang kepada dirinya sendiri dan begitu pula sebaliknya. Adapun orang yang menyampaikan pesan Tuhan, bukanlah ia pelindung atau penjaga bagi mereka.

“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka silahkan ia yang menghendaki beriman, dan silahkan ia yang menghendaki kufur…” (18:29)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan kebenaran, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk, maka itu untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang menyalahinya, maka itu untuk dirinya; dan kamu bukanlah pelindung mereka.” (39:41)

“Sungguh telah datang kepada kamu keterangan dari Tuhanmu, barangsiapa yang memperhatikan maka itu bagi dirinya sendiri, dan barangsiapa yang buta maka itu bagi dirinya sendiri dan aku bukanlah penjaga atas kamu.” (6:104)

Sesungguhnya mudah bagi Tuhan untuk membuat manusia tanpa memiliki kemauan, namun kita telah diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup yang mesti kita pergunakan sebaik-baiknya:

“Dan jika Allah menghendaki niscaya mereka tidak musyrik dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga atas mereka, dan engkau tidaklah dibebani tanggung-jawab atas mereka.” (6:107)

Dengan jalan Tuhan yang lurus yang telah dibedakan, akibat dari tidak menaati jalan hidup yang ditetapkan Tuhan juga telah diberikan:

“Barangsiapa yang menginginkan jalan hidup selain Islam, maka tidaklah itu akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (3:85)

Dalam hal kemurtadan, yaitu keadaan dimana seseorang beriman tetapi lalu ingkar terhadap ayat-ayat Tuhan, maka akibatnya telah jelas disebutkan:

“Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir sesudah mereka beriman, dan mereka telah mengakui bahwa Rasul itu benar dan keterangan yang jelaspun telah datang kepada mereka? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Untuk yang demikian) itu, balasan mereka adalah laknat Allah serta malaikat dan segenap manusia. Kekal di dalamnya, tiada diringankan azab mereka dan tidaklah mereka diberi tangguh.” (3:86-88)

Akan tetapi, pintu taubat tetaplah terbuka:

“Kecuali orang-orang yang taubat sesudah itu dan memperbaikinya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3:89)

Ketika berpaling dari petunjuk Tuhan ataupun kufur, tiada sedikitpun Tuhan dirugikan melainkan sesungguhnya kita merugikan diri kita sendiri:

“… Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak memudaratkan Allah sedikitpun…” (3:144)

“…Jika kamu dan orang-orang di bumi semuanya mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (14:8)

Jadi, adalah terpulang kepada kita sepenuhnya untuk memilih beriman ataupun ingkar. Namun demikian, terlebih dahulu hendaknya kita merenungkan dalam-dalam tentang tujuan keberadaan kita di bumi ini. Kehidupan kita di bumi ini merupakan rahmat dari Tuhan, untuk mencapai misi pengabdian kita kepada Sang Pencipta melalui keberserahdirian yang tulus kepadaNya semata. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang paling hakiki, karena dengan menuhankan Sang Pencipta semata, kita menihilkan ketundukan kepada ilah-ilah yang lain baik itu ego kita sendiri, manusia lainnya, para pemimpin, kekayaan, kekuasaan, dsb. Mengabdikan diri kepadaNya semata adalah dengan sendirinya menciptakan kebaikan kepada diri kita sendiri dan kepada kemanusiaan karena Tuhan adalah sumber kebaikan, cinta, dan keadilan…

Kita memiliki HANYA SATU KALI KESEMPATAN HIDUP DI DUNIA INI. Demi waktu, betapa meruginya mereka yang tidak memilih jalan hidup yang diridhai Tuhan. Sesungguhnya, siapapun dia, selama beriman dengan sebenarnya kepada Tuhan, hari akhir serta berbuat baik maka tiada kekhawatiran baginya dan tidak pula ia bersedih hati. Itulah persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh seorang hamba Tuhan (2:62, 5:69).

Manusia kadangkala bertindak terburu-buru, hanya mempertimbangkan kepentingan pencapaian jangka pendek di dunia ini dan melupakan tujuan jangka panjang, kebahagiaan sejati, di dunia dan akhirat nanti. Ternyatalah kehidupan kita di dunia ini, kelak akan dirasakan sangat pendek dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang akan kita jelang. Percakapan di hari akhir berikut merupakan suatu contoh yang baik:

Allah berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu berada di bumi?” Mereka berkata, “Kami berdiam sehari atau setengah hari maka bertanyalah kepada yang pandai menghitungnya.” Allah berfirman, “Tidaklah kamu berdiam (di dunia) melainkan sebentar, kalau kamu benar-benar mengetahui.” (23:112-114)

Lalu di manakah diri kita dan bagaimana nasib kita pada seratus, seribu, sejuta tahun dari sekarang? Hanya Dia dan mungkin diri kita sendiri yang dapat menjawabnya. Semoga kehidupan dunia yang fana ini tidak melenakan kita dari memenuhi misi dari keberadaan kita yang sebenarnya, menaati dan mengabdi Tuhan semata melalui hukum-hukumNya. Itulah din, jalan hidup atau sistem Islam yang universal dan sempurna bagi seluruh umat manusia.