Thursday, February 1, 2007

Ibadah

"Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, tetapi akan Aku khususkan untuk mereka yang bertaqwa yang mensucikan diri (berzakah)" (7:156)

Kata Arab (Qurani) Ibadah, berasal dari kata Abd yang berarti 'Hamba (Budak)' atau 'Abdi' yaitu seseorang yang menunjukkan pengabdian yang sepebuhnya kepada Hukum-hukum dan perintah-perintah tuannya.

Jadi Ibadah berarti "menjadi seorang hamba atau abdi dari -" yaitu "menjadi penaat akan hukum-hukum dari -" atau "untuk menerima kedaulatan dari -"

Marilah kita melihat bagaimana kata ini telah digunakan dalam Quran itu sendiri dan pengartian apa yang diberikan ayat-ayat Quran terhada konsep Ibadah:

Dalam Quran disebutkan bahwa ketika Musa dan Harun menyampaikan Pesan Tuhan kepada rakyat Firaun, kaum mereka memberikan jawaban sebagai berikut (dan jawaban mereka menunjukkan arti kata Ibadah):

Maka mereka berkata, "Apakah kita harus beriman kepada dua manusia yang seperti kita, sedang kaum mereka menghambakan diri kepada kita?" (23:47)

Ayat di atas menetapkan arti 'aabiduun sebagai 'hamba'. Rakyat Firaun telah memperhamba Bani Israel dan telah membuat mereka taat kepada aturan diktatorial dari Firaun, kemudian arti ini lebih diperjelas lagi ketika Musa membuat pernyataan berikut waktu menentang Firaun:

"Dan pertolongan yang engkau berikan kepadaku, (engkau balas) dengan memperhamba Bani Israel!." (26:22)

Dalam ayat di atas 'aabid telah ditunjukkan artinya sebagai "hamba" sedang 'abada, "menghambakan diri". Perlu diingat bahwa seorang hamba adalah orang yang taat kepada tuannya dan menunjukkan penghambaan diri (tunduk) kepada hukum-hukumnya. Kini dalam banyak tempat di dalam Quran kata-kata di atas muncul, sehingga di manapun kata ini muncul artinya adalah penghambaan diri atau ketaatan yaitu menerima kedaulatan dan otoritas. Pesan utama dari Quran adalah bahwa ketaatan dan otoritas dalam seluruh urusan manusia haruslah hanya dari hukum-hukum Allah dan tidak dari manusia siapapun. Ini diperjelas pada banyak tempat di dalam Quran. Kita diingatkan:

"Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal saleh, dan tidak menyekutukan seseorangpun dalam pengabdian ( penghambaan diri) kepada Tuhannya." (18:110)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kita tidak boleh memasukkan seseorang dalam ibadah atau penghambaan diri kepada Allah, yaitu kita harus mengikuti dan menaati hukum-hukum Allah semata-mata, dan tidak boleh memasukkan otoritas seseorang kepada diri kita kecuali dari Allah. Ini lalu diperjelas dalam ayat berikut dimana hal ini secara jelas ditekankan bahwa Allah tidak menyertakan seseorang dalam Hukum-hukum-Nya dan Hukum-hukum-Nya adalah untuk ditaati dalam kemurnian:

"...dan Dia tidak melibatkan dalam pengaturanNya , seseorangpun." (18:26)

Bandingkan huruf Arab dari dua ayat yang dikutip di atas. (18:110 & 18:26)

Konsep ini yang menekankan ketaatan hanya kepada Hukum-hukum Allah lebih jauh diperjelas dalam ayat berikut ketika dinyatakan:

"Tidak layak bagi seseorang setelah Allah memberikan kepadanya Kitab, Pengaturan dan 'Nubuwah' (penerimaan langsung dari Pesan-pesan Ketuhanan), lalu ia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menghambakan diri kepadaku dan bukan kepada Alla; tetapi (hendaknya dia berkata): Jadilah kamu orang-orang yang melakukan pemeliharaan (kepada manusia) karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan kamu (sendiri) mempelajarinya." (3:79)

Dalam ayat di atas dikonfirmasikan bahwa ketaatan dan penghambaan diri hanyalah kepada Allah semata-mata, dan tidak kepada sesorang manusiapun atau kelompok manusia, betapapun tingginya status yang mereka miliki.

Ayat berikut sekali lagi mengonfirmasikan bahwa untuk Ibadah Allah ketaatan hanyalah atas hukum-hukum Allah dan bukan seseorang yang lain:

"... Pengaturan itu hanyalah kepunyaan Allah; Dia telah memerintahkan bahwa kamu janganlah menghambakan diri melainkan kepada-Nya. Itulah 'Din' yang telah ditetapkan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (12:40)

Ayat-ayat di atas sangat jelas dalam menerangkan bahwa:

(a) Allah tidak menyertakan seseorang dalam Hukm yaitu Pengaturannya.

(b) Ibadah atau penghambaan diri hanyalah kepada Allah semata-mata, yaitu: kita harus menaati hukum-hukum Allah dan bukan seseorangpun.

Selanjutnya Ibadah atau penghambaan diri kepada Allah tidaklah terbatas pada aktivitas-aktivitas tertentu saja tetapi mencakup seluruh wilayah kehidupan manusia, apakah itu hal-hal yang bersifat sosial, ekonomi atau sifat apapun lainnya. Quran memiliki petunjuk untuk segala hal yang memerlukan petunjuk dan ketaatan pada hukum-hukum Allah haruslah pada tiap-tiap lapisan masyarakat. Tidak ada pemisahan antara keduniawian dan kejiwaan berdasarkan Quran. Perhatikan ayat berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta antara kamu dengan cara yang batil, kecuali perniagaan yang terjadi dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (4:29)

Jika seseorang memegang prinsip yang diberikan di atas ketika melakukan bisnisnya maka ia menjadi seorang "hamba" atau abdi dari Allah sebagaimana dia menaati Hukum-hukum Allah, dan tidak mencari hukum buatan manusia dalam melakukan urusan-urusan ekonomi. Dengan kata lain ia menerima kedaulatan Allah dalam segi-segi kehidupannya.

Demikian pula halnya untuk urusan-urusan sosial, dsb. manakala kita mempertimbangkan sesuatu melalui Kitab Allah, maka kita menerima kedaulatan Allah dalam urusan-urusan manusia.

Hukum-hukum Allah adalah untuk seluruh tingkat kehidupan dan tidak terbatas pada beberapa kewajiban saja. Ibadah kepada Allah ada di sepanjang tiap-tiap bagian kehidupan kita, dan orang-orang yang tidak mengatur kehidupannya sesuai dengan hukum-hukum Allah (dimana ada di dalam Quran) diidentifikasikan sebagai:

"...Dan barang siapa yang tidak mengatur dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir." (5:44)

Ibadah diidentifikasikan sebagai menghindari kedaulatan dari semua kelembagaan-kelembagaan dan menaati hanya Hukum-hukum Allah, dan ini bukanlah pelaksanaan formalitas dari beberapa ritual-ritual keagamaan. Quran menjelaskan bahwa penghambaan diri kepada Hukum Allah merupakan lawan dari penghambaan diri kepada manusia dan untuk ibadah, diperlukan suatu bentuk kemerdekaan dari orang-orang yang beriman, dimana Otoritas Allah diterima di seluruh komponen kehidupan dan bukan otoritas dari suatu individu atau sekelompok individu atas sesama manusia, seperti dinyatakan dalam ayat berikut:

"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka menjadi pimpinan di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh ia meneguhkan bagi mereka "Din" yang telah diridlai-Nya untuk mereka; dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka mengabdikan diri kepadaku, dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Ku. Dan barang siapa yang ingkar sesudahnya, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (24:55)

Apabila ibadah terbatas pada pelaksanaan ritual dan ritus, ayat di atas tidak akan telah menyatakan bahwa konsekuensi alamiah dari penerapan Hukum-hukum Allah dan tindakan-tindakan yang didasarkan padanya akan memberikan kepemimpinan bagi orang-orang yang beriman dan bahwa setelah kepemimpinan di bumi orang-orang beriman akan menunjukkan penghambaan diri hanya kepada Allah semata-mata. Sehingga hal ini mengonfirmasikan bahwa ibadah dikaitkan dengan seluruh aspek-aspek masyarakat manusia dan apabila keseluruhan masyarakat itu di bawah pengaturan Hukum Allah, barulah orang-orang bisa mengidentifikasikan sebuah masyarakat seperti itu sebagai islami.

Tidak mengakui otoritas dan penghambaan diri kepada sesama dan selain Allah, inilah merupakan tugas dari Ibad Allah, hamba-hamba Allah. Ayat berikut mengidentifikasinya:

"Dan orang-orang yang menjauhi penghambaan diri kepada yang memberontak (thagut) dan berpaling kepada Allah, bagi mereka kabar gembira, maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku itu, mereka yang mendengarkan perkataan, dan lalu mengikuti dengan yang terbaik dari itu. Mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang penuh pemahaman." (39:17-18)

Dari ayat di atas konsep ibadah adalah secara jelas sebagai menerima kedaulatan Allah dalam segala segi kehidupan dan menjadi hamba dan taat kepada hukum-hukum-Nya semata-mata dalam semua bidang.

Namun sayangnya dalam banyak terjemahan Quran kata Ibadah ini telah diterjemahkan secara umum sebagai "penyembahan" dan itu telah benar-benar mengubah konsep Ibadah yaitu penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah semata-mata, seperti diberikan di dalam Quran dan mengubahnya dengan yang ada dalam agama-agama buatan manusia. Istilah 'penyembahan' merupkan bukan representasi yang benar dari kata Quran Ibadah. 'Penyembahan' didefinisikan sebagai:

"Pernyataan hormat atau pemujaan kepada suatu tuhan (dewata), khususnya dalam bentuk pelayanan yang formal" - Kamus Bahasa Inggris Oxford hal 1414

"Pemujaan yang dilakukan kepada suatu yang bersifat ketuhanan atau kekuatan supernatural; juga: suatu tindakan yang mengekspresikan pemujaan tsb: suatu bentuk praktik keagamaan dengan kredo dan ritualnya" - Kamus Bahasa Inggris Webster

'Penyembahan' bukanlah menjadi taat dan penghambaan diri kepada hukum-hukum Allah tetapi hanya sebagai pemujaan kepada suatu yang bersifat ketuhanan melalui pelaksanaan ritual-ritual dan tata cara-tata cara yang formalistik. Pemujaan merupakan nama dari perasaan yang subyektif. Tiap-tiap orang, apapun agama yang diikutinya, adalah meliputi 'penyembahan', yang tidak ada kriteria yang obyektif untuk menilai apakah ‘penyembahan' tsb menciptakan hasil-hasil atau tidak. Namun sebaliknya, Ibadah dapat diukur secara obyektif. Kondisi sosial-ekonomi dari masyarakat akan mencerminkan apakah itu mencakup Ibad Allah atau tidak.

Apabila kita mengamati dan mempelajari Agama-agama di dunia kita melihat bahwa 'penyembahan' merupakan nama dari suatu hubungan pribadi antara penyembah dan obyek penyembahan dan merupakan suatu ekspresi dari suatu pernyataan hormat dari perasaan internal kepada suatu yang bersifat ketuhanan melalui beberapa ritual atau pelaksanaan. Jika seorang Hindu pergi ke pura ia pergi ke sana untuk penyembahan, sama seperti orang-orang Yahudi dalam suatu sinagog dan apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, dan biasanya apabila penyembahan telah selesai mereka kembali kepada aktivitasnya sehari-hari dan mengatur urusan-urusan hidup mereka sesuai dengan hukum-hukum dan standar-standar buatan mereka sendiri. Mereka tidak memiliki ukuran-ukuran yang obyektif pada mereka untuk menentukan manfaat dari ritual-ritual atau aktivitas-aktivitas penyembahan mereka.

Dalam 'penyembahan' (bukan Ibadah), tiap-tiap penyembah, sebagai seorang pemeluk dari suatu Agama adalah dalam jaminan bahwa ia berada pada jalur yang benar dan memiliki kepuasan internal bahwa ia telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Tidak ada cara obyektif dan eksternal untuk menentukan apakah 'penyembahan' dari orang tsb menciptakan hasil-hasil atau tidak. Tetapi sebuah masyarakat yang mengikuti hukum-hukum Quran dan menghambakan diri kepada hukum Allah, kemajuan mereka dapat diukur dan diamati secara obyektif.

Penghambaan diri secara total kepada Hukum-hukum Allah dalam segala segi kehidupan. Inilah yang dinamakan Ibadah. Menerjemahkan Ibadah sebagai 'penyembahan', mengubah konsep Quran dari penghambaan diri secara lengkap kepada Hukum-hukum Allah dalam semua urusan dan pada keseluruhan waktu menjadi hanya pelaksanaan formalistik dari ritual-ritual dan ritus-ritus.

Lebih jauh lagi hubungan menyeluruh seorang Muslim dengan Tuhan bukanlah suatu yang pribadi dan personal. Hubungannya dengan Dia adalah secara kolektif dan reflektif dalam kehidupan publik dan sosialnya. Dimana 'Agama' bisa berkepentingan dengan 'keselamatan pribadi' dari suatu individu dan tujuan utamanya mungkin untuk memberikan 'kebahagiaan surgawi' kepada pemeluknya setelah mati, namun 'Din' yang terkandung di dalam Quran tidak berkepentingan dengan 'keselamatan pribadi' dari suatu individu tetapi tujuan-tujuannya mencakup membuat kehidupan dunia ini secara surgawi sebagaimana pula akhiratnya untuk keseluruhan masyarakat dan bukan hanya untuk suatu individu semata-mata.

Ayat berikut membuat kejelasan bahwa hubungan kita dengan Tuhan bukanlah suatu yang personal dan pribadi:

"Dan berpegangteguhlah dengan Tali Allah kamu semuanya dan janganlah kamu bercerai berai..." (3:103)

Dalam ayat di atas kita diberitahu untuk berpegang teguh pada , yaitu Hukum-hukum Allah dalam Kitab-Nya 'secara kolektif'. Kata memerlukan refleksi tersendiri. Tali Allah harus dipegang teguh tidak secara pribadi atau individu melainkan secara kolektif sebagai sebuah kelompok. Kemudian melalui keseluruhan Quran Allan tidak menujukan kepada satu individu saja ketika menujukan kepada orang-orang yang beriman tetapi menujukan kepada keseluruhan kelompok dan komunitas dengan menggunakan frasa seperti yaitu "Hai orang-orang yang beriman', artinya haruslah ada suatu organisasi kolektif dari orang-orang yang beriman kepada siapa Tuhan menujukan perintah-perintahnya. Sekali lagi kita diingatkan:

"Hai orang-orang yang beriman, sabarlah kamu dan teguhkanlah kesabaranmu; dan kuatkanlah satu sama lain; dan taqwalah kepada Allah, agar kamu memperoleh kemakmuran." (3:200)

Dalam ayat di atas orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menguatkan satu sama lain dan untuk tidak mempedulikan hanya keselamatan lehernya sendiri, sebagaimana kata mengindikasikan. Dalam Surat Al-Anfal kita diingatkan:

"Dan takutlah kamu terhadap fitnah yang tidak dapat secara eksklusif menimpa orang-orang yang zalim saja. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras hukuman-Nya." (8:25)

Ayat di atas mengindikasikan bahwa orang-orang yang beriman tidaklah hanya peduli akan keselamatan mereka sendiri atau menjadi baik saja tetapi dalam agendanya adalah reformasi dari keseluruhan masyarakat yang melakukan kesalahan, bila hal yang berpengaruh pada masyarakat efeknya tidak hanya kepada yang berbuat salah (zalim) tetapi efek-efek negatifnya merupakan penyebab kesusahan bagi mereka yang beriman maupun yang tidak.

Ada banyak lagi ayat yang dapat dijadikan bukti untuk menetapkan fakta bahwa hubungan antara orang-orang yang beriman dengan Allah bukanlah suatu yang pribadi dan perseorangan tetapi mereka diperintahkan untuk membuat suatu upaya kolektif untuk menegakkan Hukum-hukum Allah dalam keseluruhan masyarakat dan juga mengingatkan satu sama lain dengan perintah-perintah Quran yang tegas. Mungkin Agama-agama di dunia mengajarkan tentang keselamatan pribadi dan perseorangan tetapi Quran peduli akan reformasi dan menjadi baiknya keseluruhan masyarakat secara luas dan bukan hanya sebagian kecil individu-individu saja. Satu dari syarat-syarat dimana Quran memberikannya untuk seseorang untuk memasuki Al-Jannah (sebuah kehidupan surga di dunia ini sebagaimana di akhirat) adalah bahwa ia harus memasuki terlebih dahulu kelompok orang-orang yang menghambakan diri kepada hukum-hukum Allah, yaitu Ibaad Allah dan lalu dia memasuki sebuah masyarakat surgawi:

Quran memberitahu kita:

"Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku ! dan masuklah ke dalam surga-Ku !" (89:29-30)

Ayat di atas hendaklah membuat jelas bahwa 'Din al-Islam' bukanlah nama dari suatu hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan tetapi merupakan sebuah nama dari upaya kolektif yang dibuat oleh orang-orang yang beriman untuk menerapkan Quran ke dalam seluruh bagian masyarakat.

Dengan menerjemahkan Ibadah sebagai penyembahan esensi hukum-hukum Quran tidak diberitakan secara dalam bentuk sebenarnya.

Orang-orang yang menjunjung kedaulatan Allah dalam kehidupan mereka dinamakan dalam Quran sebagai Ibad Allah dan ini adalah kelompok orang-orang yang mendapatkan kehidupan damai surgawi, sumberdaya dan kebahagiaan yang melimpah dalam kehidupan saat ini dan sebagaimana nanti di akhirat. Inilah mereka yang masuk ke dalam al-Jannah.

Quran menginformasikan dengan sangat jelas kepada kita bahwa tujuan penciptaan kita adalah bahwa tidaklah manusia membuat manusia lain sebagai subyeknya, tetapi ketaklukan dan penghambaan diri hanyalah karena hukum-hukum Allah semata-mata. Ibadah adalah mengabdi, menghambakan diri kepada Tuhan semata, dengan menaati hukum-Nya. Kemerdekaan yang hakiki, karena kita tidak mengabdikan diri pada yang lain ataupun menjunjung hukum (thaghut) yang tidak sejalan dengan petunjukNya.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (51:56)