Tuesday, November 21, 2006

petunjukNya adalah karunia terbesar

Hidayah Allah merupakan karunia yang terbesar yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Petunjuk Tuhan itulah yang senantiasa kita dambakan agar kita berada di jalan yang lurus. Doa itu pula yang senantiasa kita panjatkan di setiap kesempatan, sebagai bagian dari surat pertama yang merupakan “kunci” atau “pembuka”, al Fatihah. Pada bagian awal surat kedua (ayat kedua), Tuhan Yang Maha Pengasih memberitahukan kepada kita apa yang menjadi (sumber) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa itu, yaitu Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Jadi mendalami dan meyakini apa-apa yang tekandung di dalam Kitab itu (Quran) dengan tulus dan hati yang terbuka serta menggunakan karunia akal yang kita miliki merupakan jalan untuk memperoleh petunjukNya. Hanya mereka yang suci (tulus) yang dapat menggapainya (56:79).

Tuhan telah membedakan jalan yang baik dari yang buruk di dalam Kitab yang merupakan “kriteria” (alfurqon) bagi umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Namun demikian tiada paksaan bagi manusia atas dinNya (2:256). Walau mudah bagiNya untuk membuat semua manusia beriman, Dia membiarkan siapapun yang memilih beriman dan siapa yang menghendaki pengingkaran. Manusia sebagai turunan Adam telah memilih untuk menjalani kehidupan ini dengan pilihannya sendiri. Menjadi tanggung-jawab manusia itu sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Masing-masing kelak akan menghadap Tuhannya, pada hari yang penuh keadilan atas semua yang telah kita lakukan. Suatu hari di mana seseorang dalam kepulangan yang abadi, seseorang yang tersenyum bahagia ketika menghadap sang Pencipta ataukah seseorang yang penuh penyesalan tanpa dapat memperbaiki nasibnya. Masing-masing akan ditanya, dan masing-masing akan membawa bebannya dan memikul dosanya sendiri (29:12-13, 6:164, 17:15, 35:18, 39:7, 53:38). Tertulis di iliyyin ataukah sijjin catatan amalnya, berada di surga atau neraka, itulah konsekuensi yang dihadapi setiap orang dalam kepulangan yang abadi nanti. Kesempatan untuk memilih dua keadaan itu dimulai dari saat ini, ketika kita hidup di dunia ini.

Kesempatan hidup di dunia yang hanya sekali ini, alangkah sayangnya apabila kita tiada dapat memenuhi misi dan tujuan keberadaan kita, mengapa kita diciptakan. Hidup ini terlalu berharga untuk tidak diisi dengan berbagai kebaikan dalam keyakinan kebenaran, dan segala yang ada di alam semesta inipun tiadalah yang sia-sia diciptakan bagi kita. Malaikat telah memprotes ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, namun Tuhan Yang Maha Tahu bahwa manusia memiliki sesuatu yang menjadikan keberadaannya di dunia ini memiliki arti. Manusia memiliki kemampuan dalam hal pengetahuan guna menegakkan kebaikan di atas kejahatan. Mengabdi kepada Tuhan merupakan satu-satunya misi kita di dunia, yaitu untuk teguh di jalan Tuhan yang lurus dan penuh kebaikan serta menjunjung hukum-hukumNya. Namun demikian itu tidaklah mudah, karena bahkan orang-orang yang berimanpun mendapatkan ujian (29:2 2:214). Lebih jauh lagi, karena kita memiliki musuh yang nyata, yaitu syaitan yang senantiasa berupaya menjerumuskan kita menyeleweng dari jalan yang lurus dengan berbagai triknya, yang tak jarang tersembunyi di balik hal-hal yang tampaknya indah dan baik. Tuhan telah meniupkan ruh ke dalam diri setiap manusia dan Dia telah pula membekali kita dengan Kitab yang menunjuki, maka terpulang kepada setiap diri untuk berupaya mencapai keberhasilan dalam misinya di dunia. Bahkan seseorang tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang dicintainya, hanya Allah yang menunjuki siapa yang dikehendakiNya (28:56).

Bukan tanggung-jawabmu memberikan petunjuk kepada mereka, namun hanya Allah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki. (2:272)

Beriman, kafir, ataukah munafik. Itulah tiga kategori manusia. Tentu saja kategori pertama merupakan kategori mereka yang mendapat petunjuk dan yang beruntung. Sesungguhnya, Tuhan telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, tapi manusiapun dapat jatuh pada derajad yang rendah (95:4-5). Seorang yang rela mati untuk menegakkan kebenaran dan seorang yang berhati dingin meledakkan bom di keramaian, adalah sama-sama manusia. Itulah potensi diri kita dengan kehendak bebas (free will) yang kita miliki.

Keimanan seseorang dapat bertambah ke tingkat yang lebih tinggi atau menurun di sepanjang perjalanannya. Penting karenanya untuk merawat keimanan kita secara konstan, terutama untuk mencegahnya melenceng kepada kekafiran atau jatuh ke dalam jurang kemunafikan. Tuhan menyebutkan tiga kategori manusia sebagai beriman, kafir dan munafik pada ayat-ayat awal di surat al Baqarah dengan masing-masing kriterianya. Disebutkan pula dalam ayat yang lain, bahwa ada pula yang mengaku atau merasa beriman kepada apa yang telah diturunkan (Kitab Tuhan), tapi sesungguhnya mereka ternyata tersesat karena justru telah berhukum kepada thagut dan terpedaya oleh syaitan (4:60). Untuk menjadi orang yang beriman dengan sesungguhnya, tentunya kita harus menghindari segala hal yang digolongkan sebagai kekafiran. Mengingkari ketika kebenaran itu datang adalah salah satu bentuk kekafiran (46:7). Kebenaran sejati tentu saja datang dari Tuhan, melalui pesan-pesan yang disampaikan melalui rasul-rasulNya. Tidak mengatur dengan apa yang telah diwahyukan Tuhan merupakan kriteria mereka yang digolongkan sebagai kafir (5:44). Sehingga, menjadi kewajiban bagi kita untuk memahami apa-apa yang diwahyukan Tuhan sehingga lalu dapat berhukum dengannya, bukan berhukum dengan kitab-kitab lainnya dan tidak berhukum kepada thagut. Sangat beruntung kita telah diwarisi dengan Quran yang dijamin Tuhan penjagaannya, yang harus kita lakukan kini adalah memahami dan mengamalkannya.

Beriman bukanlah hanya di bibir saja, melainkan dengan hati dan pikiran. Namun demikian, hanya beriman saja tidaklah cukup. Iman hendaklah diwujudkan dalam amal perbuatan. Maka berkali kali kita dapati dalam Quran, dimana keimanan senantiasa dikaitkan dengan amal saleh. Agar berada dalam kondisi yang aman dan mendapat petunjuk, kita hendaknya tidak mencampuradukkan keimanan kita dengan kezaliman. Salah satu kriteria kezaliman adalah ketika kita tidak mengatur atau berhukum dengan apa yang telah diturunkan Tuhan (Quran). Orang yang beriman ternyata masih pula dapat menjadi murtad dan tergelincir dari Din (jalan hidup) yang lurus.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (6:82)

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa murtad di antara kamu dari dinmu, maka Allah akan menggantikan tempatmu dengan orang-orang yang Dia mencintai dan yang mencintaiNya. Mereka bersikap lembut pada orang-orang yang beriman, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, tanpa takut terhadap celaan apapun. (5:54)

Merawat keimanan kita secara kontinyu dan melengkapinya dengan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan zalim merupakan jihad (upaya keras) yang harus dilakukan oleh setiap insan untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Perbuatan baik bukanlah dilakukan untuk (sekedar) mencari pahala, melainkan karena rasa takut dan rasa cinta kepada Tuhan semata. Berbuat baik kita lakukan sebagai bagian dari penghambaan atau pengabdian kita kepada Pencipta, sebagai satu-satunya misi dari kehidupan kita di dunia. Balasan atas apa yang kita lakukan cukuplah kita serahkan kepada Hakim Yang Maha Adil, yang Rahman dan Rahim. Adapaun mengabdi kepada Tuhan semata adalah merupakan supremasi kemerdekaan manusia yang hakiki, karena dengan demikian kita menepis ketundukan kita kepada yang selain Tuhan, apakah itu leluhur, atasan, ulama, pemimpin dunia atau nabi sekalipun. Hanya Tuhan semata yang layak kepada siapa kita mengabdikan diri.

Quran mengajarkan kita untuk menjalani apa yang kita sampaikan kepada orang lain. Menjalani dan menyampaikan isi Quran merupakan tantangan bagi mereka yang benar-benar membacanya. Rasanya, hati kita teraduk-aduk ketika membaca isi KitabNya. Antara kebahagiaan karena menemukan ajaran-ajaranNya yang selama ini tertutup dari mata dan hati kita, hingga menghadapi pertentangan batin karena munculnya berbagai perbedaan dengan apa yang selama ini kita dapatkan dan kita jalani. Tuhan menjanjikan bahwa mereka yang beriman akan memperoleh kejayaan di kehidupan ini dan pula di kehidupan akhirat nanti. Tapi apa yang kita lihat? umat Islam yang berjaya hingga beberapa ratus tahun setelah masa Nabi Muhammad, kini justru terpuruk di berbagai hal. Saya yakin bahwa janji Tuhan tak mungkin salah. Lalu apa yang salah dengan keberimanan umat ini? Benarkah kita telah benar-benar beriman sesuai dengan kriteria Tuhan dalam Quran? Ataukah justru kita bahkan belum benar sebagai umat Muslim? Mana mungkin mayoritas umat Muslim yang mengikuti tradisi dan ritual yang telah berjalan berabad-abad itu telah salah? Mengapa justru umat Islamlah yang banyak dikecam sebagai suka berbuat kekerasan? Setiap umat menganggap baik apa yang dilakukan (6:108), lalu mengapa pula Nabi Muhammad mengeluh tentang umatnya di hari kiamat:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah MENINGGALKAN Quran.” (25:30)

Nabi terakhir kita itu tidak mengeluhkan kita karena meninggalkan (kitab) yang lain, melainkan Quran. Karena itu sangat penting bagi kita untuk merenung dan mengaji, agar tidak termasuk di antara kaum Nabi yang dikeluhkannya itu, apakah kita telah dan akan tidak meninggalkan Quran? Jangan sampai kita terlena karena merasa seakan-akan telah berada di jalan yang lurus. Orang Yahudi merasa bahwa merekalah umat terpilih dan paling benar, sementara lebih dua milyar orang sebagai mayoritas umat manusia saat ini merupakan golongan Nasrani dan barangkali juga merasa paling benar. Sehingga, tak ada yang ditakutkan tentang mayoritas orang tidak sepaham dengan kita, tetapi lebih penting untuk meyakini dan memilih apa yang kita pahami sebagai yang benar walaupun hanya ada sedikit orang seperti kita. Apalagi Tuhan Yang Maha Tahu telah mengatakan bahwa sebagian besar manusia tidak beriman dan bahkan mayoritas orang (meskipun mengaku beriman) bahkan menyekutukan Allah (12:103, 12:106). Menjadi beriman sesuai kriteria Tuhan dalam Quran adalah berbeda dengan menjadi “beriman” karena telah mengikuti ritual dan tradisi keagamaan yang turun temurun, setekun apapun kita mengikutinya.

Tuhan telah menyatakan dalam kitabNya bahwa orang-orang yang beriman akan ditolongNya dan mencapai kejayaan (30:47, 22:40, 22:38, 47:7). Orang-orang Muslim tentu tahu bahwa Tuhan mengendalikan segala sesuatu, Dia memerintahkan tentara yang tampak maupun tidak yang diturunkan untuk membantu orang-orang yang beriman di saat membutuhkan, bahwa kekuatan yang ‘kecil’ dapat mengalahkan yang lebih besar dan kuat dengan kehendak Tuhan (3:124, 2:249), bahwa segala teknologi dan daya apapun di dunia ini tak ada artinya apabila Tuhan berada di pihak lainnya. Kita yakin bahwa Tuhan tidak pernah memungkiri janjiNya (2:80), lalu mengapa dunia muslim hampir selalu terpuruk dalam setiap peperangan dan persaingan? Mengapa dunia Arab yang berlipat kali lebih besar itu tak berdaya melawan Israel? Bagaimana pula nasib Taliban, Palestina, Irak, Pakistan dsb? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika saya membaca Quran dan membandingkan dengan kenyataan yang dialami oleh dunia Muslim. Lantas Islam yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh Quran itu, yang dinyatakan sebagai satu-satunya DIN yang diridhai Tuhan?

Ada dua hal yang barangkali menyebabkan mundurnya dunia muslim di percaturan dunia. Karena perpecahan yang melanda umat muslim di seluruh dunia, serta karena mereka tidak menjunjung kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pemilik hukum yang harus kita junjung. Keduanya muncul dari satu sumber kehancuran, yaitu karena mereka telah meninggalkan Quran. Bagaimana dengan negeri kita ini? Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Dengan pemeluk Islam yang demikian besar dan kekayaan alam yang demikian melimpah, sudah seharusnya negeri ini menjadi yang terkemuka akan kemakmuran dan kedamaiannya di dunia ini. Fakta yang terjadi justru menunjukkan yang sebaliknya. Di surat 7 dalam Quran kita mempelajari akibat dari kaum yang mendustakan ayat-ayatNya, hukum-hukum Quran maupun hukum-hukum alam. Demikianlah sunnah Tuhan berlaku tanpa terkecuali. Bagaimana mungkin negeri dengan berjuta-juta Muslim sebagai mayoritas terpuruk kepada kenistaan dan penderitaan sedemikian? Kita sendiri yang mesti menjawabnya dan hanya kaum itu sendiri yang dapat mengubah nasibnya (sesuai dengan sunnahNya). Apakah mayoritas bangsa ini telah bersyukur, memanfaatkan karunia Allah dengan semestinya? Dari banyak ayat dalam Quran kita dapati bahwa keislaman bertolak belakang dengan kekufuran, sedangkan kita tahu pula bahwa kekufuran berlawanan dengan kesyukuran (14:7). Kriteria yang umum dipakai untuk mengklaim keislaman hanyalah bersifat formalistik dan mekanistik, padahal label formal dan ritual mekanis keagamaan tiada artinya menurut Quran. Islam adalah jalan hidup universal untuk berserah diri kepada Tuhan, melalui hukum-hukum Kitab dan hukum-hukum alamNya. Tunduk patuh setulusnya dalam keyakinan hati dan pengamalan. Muslim karena kelahiran dan warisan tidaklah sama dengan menjadi Muslim karena pilihan serta kesadaran hati dan akal. Mereka tidak taklid kepada para tokoh agama (biasa disebut ‘ulama’ secara salah kaprah) ataupun kitab-kitab buatan manusia, melainkan menjunjung wahyu Tuhan di atas yang lainnya.

Dalam bahasa Quran, ulama merupakan mereka yang mengetahui atau ahli dalam ilmu dan sains dalam bidangnya masing-masing, yang mempelajari fenomena alam dan mereka takut kepada Tuhan. Sedangkan untuk tokoh-tokoh atau pemuka-pemuka agama disebut sebagai ‘ahbaar’ (5:44, 5:63, 9:34, 9:31). Menaati ajaran-ajaran dari para ‘ahbaar’ serta mengesampingkan ajaran-ajaran Tuhan merupakan perbuatan menempatkan tuhan-tuhan yang lain (sebagai sekutu) di sisi Allah.

Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang mensyariatkan (menetapkan) kepada mereka aturan-aturan agama (din) yang Allah tidak mengijinkan? (42:21)

Bahkan negara-negara yang mengklaim sebagai negara Muslim, ‘ulama’nya menetapkan berbagai syariat yang bertentangan dengan hukum Tuhan: hukuman rajam, poligami, berbagai aturan halal dan haram, tradisi dan ritual yang tidak ada relevansinya dengan keislaman, dsb. Apakah Tuhan memperbolehkan kita menaati hukum-hukum selain aturan yang ditetapkanNya? Ataukah seorang nabi memiliki otorisasi membuat hukumnya sendiri di samping hukum Tuhan?

‘Hukm’ itu hanyalah kepunyaan Allah. (12:40)

Dia tiada bersekutu dengan siapapun pada ‘hukm’Nya (hukum-hukum dan aturan) (18:26)

Menaati para ‘habr’ dapat membuat kita terjatuh pada jurang kemusyrikan berdasarkan penjelasan Quran. Memang kita dapat belajar dari sesama manusia dalam mencari kebenaran. Kita diberitahukan untuk mendengarkan semua pandangan dan mengikuti yang terbaik (39:18). Kita diberitahu pula kepada siapa harus bertanya jika kita tidak mengetahui, yaitu kepada ahli dzikr (16:43). Lalu apakah dzikr itu? Tuhan memberitahu kita dalam (21:50) bahwa Quran itulah dzikrum mubaarakun (pengingat yang diberkahi). “Maka akankah kamu mengingkarinya?” demikian Tuhan mempertanyakan kita dalam ayat tsb. Pesan Quran itulah satu-satunya sumber untuk mengamalkan Islam. Sumber-sumber yang lain memiliki banyak pertentangan (4:82). Kata-kata Tuhan tiada dapat disangkal, karena “tiada yang menyangkal ayat-ayat Kami melainkan orang-orang kafir.” (29:48). Orang-orang yang menjunjung satu sumber panutan dan beberapa sumber yang saling berselisih diibaratkan sebagaimana dalam ayat 39:29.

Untuk menjadi seorang Muslim yang sebenarnya adalah dengan memahami ayat-ayatNya untuk dijadikan petunjuk dalam pikiran, sikap, perilaku dan perbuatannya (16:64, 16:102, 27:77, 10:57, 7:2). Sumber petunjuk itu karenanya haruslah: benar (69:51, 25:33, 32:3, 34:6), sempurna (6:38), lengkap (16:115), terperinci (6:114, 7:52), menjelaskan (6:126, 6:154-155, 13:2, 16:89, 25:50), dapat diandalkan (17:9), dan terjaga (41:42, 56:78, 85:22).
Dalam berbagai ayatNya Tuhan menyatakan bahwa petunjuk itu ada di dalam Kitab bukan di luarnya. Namun, banyak orang yang membaca Quran tanpa sedikitpun mengerti atau mencoba memahami artinya, namun merasa bahwa mereka mendapat petunjuk. Mereka mengikuti acara turun temurun membaca Ya-sin (atau surat lain yang difavoritkan tanpa peduli dengan pesan dari surat yang dibacanya) pada waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan pahala atau ‘mengirimkan’ pahalanya pada orang yang telah meninggal. Bagaimana pula mereka akan memperoleh petunjuk? Kitab Tuhan tidak ditujukan hanya bagi Mullah, Imam, Syeikh, ‘Ulama’ tetapi juga untuk seluruh umat manusia… Mereka yang mengatakan bahwa memahami Quran hanya dapat dilakukan dengan tuntunan ‘Ulama’, sejatinya tidak meyakini apa yang dikatakan oleh Yang Menurunkan Kitab itu sendiri bahkan sebanyak empat kali:

Dan sungguh Kami telah mudahkan Quran ini sebagai pengingat (dzikr), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (54:17, 22, 32, 40)

Turunnya Quran dalam bahasa Arab tidak berarti Tuhan lebih mencintai bahasa atau orang Arab dari yang lain, atau bahwa orang Arab lebih berhak mendapatkan petunjuk daripada yang lainnya. Bagi Tuhan, bahasa bukanlah suatu persoalan. Berapa juta orang yang pandai berbahasa Arab tetapi mendurhakai Quran? Abu Lahab merupakan salah satu yang disebut namanya di Quran.

Apakah ini dalam bahasa Arab atau bukan bahasa Arab, katakanlah, “Bagi mereka yang beriman, ini adalah petunjuk dan penyembuh. Sedang bagi mereka yang tidak beriman, mereka akan tuli dan buta terhadapnya; laksana orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh.” (41:44)
Ketulusan dan kesungguhan hati lebih utama dalam memahami Quran. Tuhanlah yang akan menunjukkan caranya dan Dia pula Yang Maha Penyayang yang telah mengajarkan Quran (55:1-2, 75:16-19).

Bahwa sesungguhnya al-Quran ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan membawa kabar gembira untuk orang-orang yang beriman yang mengamalkannya dengan saleh. Sesungguhnya bagi mereka pahala yang besar. (17:9)

Kita tahu bahwa sumber dari ayat-ayat berasal dari ayatullah dan sunatullah, ayat-ayatNya dalam Quran (13:1) dan dalam alam semesta (13:2). Jadi dengan memahami ayat-ayat dalam Quran serta mempelajari fenomena fisik yang membentuk pengetahuan yang lengkap, dengan ijin Tuhan, kita akan menemukan petunjuk dan kebenaranNya.…petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)… (6:71)

1 comment:

Hamba Allah said...

Alhamdulillah, subhanallah...petunjuk Allah bagi setiap manusia yang tulus ikhlas mencari. Allah adalah guru Terbaik. Walaupun Kita "jauh" saya merasa dekat dengan Anda. Salam